MAKALAH PSIKOLINGUISTIK

MAKALAH
HAKIKAT BAHASA DAN FUNGSI BAHASA
Mata Kuliah : Sosiolinguistik
Dosen Pengampu : Welly Fictoria Tika, S.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 1 (satu)
Ajuzar
Ardian Z
Abdan Sukro
Desi Erawati
Donal Pratama
Neza Guci Lestari
Sukarseh
Surayah AB
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) YPM BANGKO TAHUN 2014

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hakikat Bahasa dan Fungsi Bahasa“ ini dengan lancar.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan materi.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar. Atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini. Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai “Hakikat Bahasa dan Fungsi Bahasa” khususnya bagi penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini memang masih jauh dari sempurna, untuk itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang dimaksudkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Bangko, Mei 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan penulisan 4

BAB II PEMBAHASAN 5
2.1 Hakikat Bahasa 5
2.2 Fungsi Bahasa 8

BAB III PENUTUP 11
3.1 Kesimpulan 11
3.2 Kritik dan Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah bahasa tentu bukan merupakan hal yang baru bagi kita. Istilah tersebut setiap saat selalu kita dengar, baca, atau bahkan digunakan untuk berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Bukan hanya itu, hampir setiap saat dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan bahasa atau berbahasa. Begitu seringnya kita menggunakan istilah bahasa atau menggunakan bahasa maka terkadang kita lupa untuk memahami apa sesungguhnya hakikat dan fungsi bahasa itu. Agar mahasiswa dapat mengukur sejauh mana pemahaman terhadap materi ini sebelum memasuki materi berikutnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan hakikat bahasa?
2. Apa saja fungsi bahasa itu?

1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui hakikat bahasa.
2. Untuk memahami fungsi bahasa.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Bahasa
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia perlu berinteraksi dengan manusia lainnya. Pada saat manusia membutuhkan eksistensinya diakui, maka interaksi itu terasa semakin penting. Kegiatan berinteraksi ini membutuhkan alat, sarana atau media, yaitu bahasa. Sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana atau media. Tiada kemanusiaan tanpa bahasa, tiada peradaban tanpa bahasa tulis. Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan betapa pentingnya peranan bahasa bagi perkembangan manusia dan kemanusiaan. Dengan bantuan bahasa, anak tumbuh dari organisme biologis menjadi pribadi di dalam kelompok. Pribadi itu berpikir, merasa, bersikap, berbuat, serta memandang dunia dan kehidupan seperti masyarakat di sekitarnya.
Kalau kita membuka buku linguistik dari berbagai pakar akan kita jumpai berbagai rumusan mengenai hakikat bahasa. Rumusan-rumusan itu kalau di butiri akan menghasilkan sejumlah ciri yang merupakan hakikat bahasa. Ciri-ciri yang merupakan hakikat bahasa itu, antara lain, adalah bahwa bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Berikut dibicarakan ciri-ciri tersebut secara singkat.

a. Bahasa sebagai Sistem
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga bersifat sistemis. Sistem bahasa berupa lambang-lambang dalam bentk bunyi. Artinya,lambnag-lambang ituberbentuk bunyi, yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Umpamanya lambang bahasa yang berbunyi [kuda] melambangkan konsep atau makna ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’, dan lambang bahasa yang berbunyi [spidol] melambangkan konsep atau makna ‘sejenis alat tulis bertinta’. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan sesuatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan setiap satuan ujaran bahasa memiliki makna. Jika ada lambang bunyi yang tidak bermakna atau tidak menyatakan suatu konsep, maka lambang tersebut tidak termasuk sistem suatu bahasa. Dalam bahasa Indonesia suatu bunyi [air], [kuda], dan [meja] adalah lambang ujaran karena memiliki makna; tetapi bunyi-bunyi [rai], dan [ajem] bukanlah lambang ujaran karena tidak memiliki makna.

b. Bahasa Bersifat Arbitrer
Lambang bahasa itu bersifat arbitrer, artinya, hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah , dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara konkret, mengapa lambang bunyi [kuda] digunakan untuk menyatakan ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’ adalah tidak dapat dijelaskan. Andaikata hubungan itu bersifat wajib , tentu untuk menyatakan binatang yang dalam bahasa Indonesia itu disebut [kuda] tidak ada yang menyebutnya , , atau . Bukti kearbiteran ini dapat juga dilihat dari banyaknya sebuah konsep yang dilambangkan dengan beberapa lambang bunyi yang berbeda. Misalnya, untuk konsep ‘setumpuk lembaran kertas bercetak dan berjilid’ dalam bahasa indonesia disebut [buku] dan [kitab].
Meskipun lambang-lambang bahasa itu bersifat arbitrer, tetapi juga bersifat konvensional. Artinya, setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang [kuda] hanya untuk digunakan untuk menyatakan ‘sejenis binatang berkaki emapt yang biasa dikendarai’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukan berarti dia telah melanggar konvensi itu. Sebagai akibatnya, tentu komunikasi akan terhambat. Begitupun seseorang tidak dapat mengganti lambang untuk sesuatu dengan semaunya saja. Umpamanya untuk konsep ‘ sejenis alat tulis bertinta’ dia tidak menggunakan lambang [spidol], tetapi menggunakan lambang lain misalnya, [dolspi], [pisdol], atau [dospil]. Kalau dilakukan komunikasi juga akan terhambat.

c. Bahasa Bersifat Produktif
Bahasa itu bersifat produktif, artinya, dengan sejumlah unsur yang terbatas, mamun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Umpamanya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai lebih kurang 23.000 buah kata, tetapi dengan 23.000 buah kata itu dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.

d. Bahasa Bersifat Dinamis
Bahasa itu bersifat dinamis, artinya, bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Yang tampak jelas biasanya adalah pada tataran leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja ada kosa kata baru yang muncul, tetapi juga ada kosa kata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.

e. Bahasa itu Beragam
Bahasa itu beragam artinya, meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya tidak persis sama dengan bahasa Jawa yan digunakan di Pekalongan, di Banyumas, maupun yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Inggris yang digunakan di kota London tidak sama dengan bahasa Ingris yang digunakan di Kanada, maupun di Amerika.

f. Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa itu bersifat manusiawi artinya, bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan tidak dinamis. Dikuasai oleh para hewan itu secara instingtif, atau secara naluriah. Padahal manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingsif atau naluriah, melainkan dengan cara belajar. Hewan tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa manusia. Oleh karena itulah dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi, hanya dimiliki manusia.

2.2 Fungsi-Fungsi Bahasa
Secara umum sudah jelas bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai wahana komunikasi bagi manusia, baik komunikasi lisan maupun tulis. Fungsi ini adalah dasar bahasa yang belum dikaitkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari kegiatan hidup masyarakat, yang di dalamnya sebenarnya terdapat status dan niali-nilai sosial. Bahasa selalu mengikuti dan mewarnai kehidupan manusia sehari-hari, baik manusia sebagai anggota suku maupun bangsa.
Terkait hal itu, Santoso, dkk. (2004) berpendapat bahwa bahasa sebagai alat komunikasi memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal-balik antar anggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat.
b. Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembaca. Bahasa sebagai alat mengekspresikan diri ini dapat menjadi media untuk menyatakan eksistensi (keberadaan) diri, membebaskan diri dari tekanan emosi dan untuk menarik perhatian orang.
c. Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat, melalui bahasa seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku, dan etika masyarakatnya. Mereka menyesuaikan diri dengan semua ketentuan yang berlaku dalam masyarakat melalui bahasa.
d. Fungsi kontrol sosial, bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Bila fungsi ini berlaku dengan baik, maka semua kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik pula. Dengan bahasa seseorang dapat mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang lebih berkualitas.
Fungsi bahasa menurut Hallyday (1992) sebagai alat komunikasi untuk berbagai keperluan sebagai berikut:
a. Fungsi instrumental, yakni bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu. Bahasa berfungsi menghasilkan kondisi-kondisi tertentu dan menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu. Kalimat-kalimat berikut ini mengandung fungsi instrumental dan merupakan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan kondisi-kondisi tertentu.
b. Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi. Fungsi ini biasanya untuk mengisahkan cerita•cerita, dongeng-dongeng, membacakan lelucon, atau menuliskan cerpen, novel, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai fungsi khusus yang sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Fungsi itu adalah sebagai:
a. Bahasa resmi kenegaraan. Fungsi ini bahasa Indonesia dipergunakan dalam administrasi kenegaraan, upacara atau peristiwa kenegaraan, komunikasi timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat.
b. Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Sebagai bahasa pengantar, bahasa Indonesia digunakan di lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
c. Sebagai alat pemersatu berbagai suku di Indonesia. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku yang masing-masing memiliki bahasa dan dialeknya sendiri. Maka dalam mengintegrasikan semua suku tersebut, bahasa Indonesia memainkan peranan yang sangat penting.
d. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki identitasnya sendiri, yang membedakannya dengan bahasa daerah. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik dalam bentuk penyajian pelajaran, penulisan buku atau penerjemahan , dilakukan dalam bahasa Indonesia.

BAB III
PENUTUP

3.1 kesimpulan
Pada hakikatnya bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Indonesia dan sarana untuk berkomunikasi antar sesama manusia. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh manusia. Namun kemampuan itu tidak dibawa sejak lahir dan dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari. Tanpa bahasa tidak akan mungkin manusia dapat berpikir lanjut serta mencapai kemajuan dan teknologi seperti sekarang ini. Untuk itu sangatlah penting mempelajari hakikat dan fungsi bahasa.

3.2 Kritik dan Saran
Kami menyadari, dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun berharap agar ada kritik dan saran dari semua pihak terutama dosen. Kami hanyalah manusia biasa. Jika ada kesalahan, itu datangnya dari kami sendiri. Dan jika ada kebenaran, itu datangnya dari Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. Dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia ed ke 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Faisal, M. Dkk. 2009. Kajian Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

MAKALAH ALUR DAN PENGALURAN

MAKALAH
ALUR DAN PENGALURAN
Mata Kuliah : Telaah Prosa
Dosen Pengampu : Welly Fictoria Tika, S.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 1 (satu)
Almujadillah
Desi Erawati
Harmayanti
Putri Ayu
Solihin
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) YPM BANGKO TAHUN 2014

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Alur dan Pengaluran “ ini dengan lancar.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan materi.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar. Atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini. Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai “Alur dan Pengaluran” khususnya bagi penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini memang masih jauh dari sempurna, untuk itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang dimaksudkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Bangko, Mei 2014

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Batasan Masalah 4
C. Rumusan Masalah 4
D. Tujuan Penulisan 4

BAB II PEMBAHASAN 5
A. Hakikat Alur dan Pengaluran 5
B. Peristiwa, Konflik dan Klimaks 6
C. Kaidah Pengaluran 7
D. Penahapan Alur 8
E. Jenis-jenis Alur 9
F. Prinsip-prinsip dalam Menganalisis Alur 10

BAB II PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
B. Kritik dan Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang menganggap lebih penting dari unsur fiksi yang lain. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa berhubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu. Alur merupakan tulang punggung suatu cerita, yang menuntun kita memahami keseluruhan cerita dengan segala sebab-akibat di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hakikat alur dan pengaluran?
2. Apakah yang dimaksud dengan peristiwa, konfliks dan klimaks?
3. Bagaimanakah kaidah pengaluran?
4. Apa saja penahapan alur?
5. Bagaimanakah jenis-jenis alur?
6. Apa saja prinsip-prinsip dalam menganalisis alur?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Menjelaskan hakikat alur dan pengaluran.
2. Memaparkan definisi dan perbedaan peristiwa, konfliks, dan klimaks.
3. Menjelaskan kaidah pengaluran.
4. Menerangkan tentang penahapan alur.
5. Memaparkan jenis-jenis alur.
6. Menerangkan prinsip-prinsip dalam menganalisis alur.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Alur dan Pengaluran
Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang sangat penting. Stanton (1965 : 14), mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kajian, namun tiap kajian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat. Kenny (1966 : 14), mengemukakan alur sebagai peristiwa-peristiwa yang disampaikan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat. Forster (1970 : 93), mengemukakan bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Luxemburg (Fananie, 2000 : 93), mengemukakan bahwa alur atau plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah jalan cerita atau struktur kejadian dalam cerita. Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus berkaitan satu sama lain. Bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa tersebut semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu.
Dalam hal ini Crane (Fananie, 2001 : 94) berpendapat bahwa, plot tidak hanya dilihat dari jalannya suatu peristiwa. Lebih jauh perlu juga dianalisis bagaimana urgensi peristiwa-peristiwa yang muncul tersebut mampu membangun satu tegangan atau konflik tokohnya. Dengan kata lain, analisis plot tidak hanya dilihat dari kedudukan satu topik diantara topik-topik yang lain, melainkan harus pula dikaitkan dengan elemen-elemen lain, seperti karakter pelaku, pemikiran pengarang yang tercermin dalam tokoh-tokohnya, diksi, maupun proses naratifnya.
Menurut Semi (1990 : 43), alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interaksi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian seluruh fiksi. Rangkaian perisitiwa yang dikaitkan dengan perkembangan karakter, pemikiran para tokoh cerita, persoalan yang dihadapi, dan penyajian susunan peristiwa yang dihadapi, dan penyajian susunan peristiwa yang dicuatkan pengarang inilah yang akan menentukan sejauh mana kekuatan sebuah cerita.

B. Peristiwa, Konflik dan Klimaks
Peristiwa, konflik dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur cerita. Eksistensi alur atau plot sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut.

1. Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Lexumburg dll, 1992 : 150). Peristiwa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:
a) Peristiwa fungsional, yaitu peristiwa yang mempengaruhi pengembangan alur atau plot.
b) Peristiwa kaitan, yaitu peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa yang penting dalam pengurutan penyajian cerita.
c) Peristiwa acuan, yaitu peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu kepada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh.

2. Konflik
Konflik (conflict) yang notabane adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia berupa peristiwa fungsional, utama atau karnel), merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Konflik adalah suatu yang dramatik mengacu pada dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balas (Wellek and Wairen, 1988 : 285). Konflik dibagi atas dua bagian, yaitu :

a) Konflik eksternal atau konflik fisik, yaitu konflik yang terjadi antara seseorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam ataupun dengan lingkungan manusia. Seperti konflik fisik dan konflik sosial.
b) Konflik internal atau konflik batin, yaitu konflik yang terjadi dalam hati atau jiwa seseorang tokoh sebuah cerita.
Akhirnya perlu ditegaskan bahwa kedua konflik tersebut saling berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain dan dapat terjadi secara bersamaan. Artinya konflik-konflik tersebut dapat terjadi dan dialami oleh seseorang pada cerita dalam waktu yang bersamaan, walau tingkat intensitasnya mungkin saja tidak sama.
3. Klimaks
Konflik dan klimaks merupakan hal yang penting dalam struktur plot karena keduanya merupakan unsur plot pada karya fiksi. Klimaks, menurut Staton (1965 : 16) adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat hal itu merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari kehadirannya, artinya berdasarkan tututan dan kelogisan cerita, peristiwa saat itu harus terjadi dan tidak boleh tidak. Klimaks sangat menentukan (arah) perkembangan plot, klimaks memang mungkin tidak bersifat spektakuler.

C. Kaidah Pengaluran (Pemplotan)
Kaidah-kaidah pengaluran yang dimaksud meliputi masalah plausibilitas (plausibility), adanya unsur kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), dan kepaduan (unity) (Kenny, 1966 : 19-22).

1. Plausibilitas (masalah)
Plausibilitas mengarah pada pengertian sesuatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan cerita. Sebuah cerita dikatakan memiliki sifat plausibilitas jika tokoh-tokoh, cerita dan dunia dapat diimajinasi (imaginable).

2. Suspense (rasa ingin tahu)
Sebuah cerita cerita yang baik harus mampu membangkitkan suspense pembacanya. Salah satu caara untuk membangkitkan suspense sebuah cerita adalah menampilkan apa yang disebut foreshadowing atau penampilan peristiwa tertentu yang bersifat mendahului namun biasanya ditampilkan secara tak langsung terhadap peistiwa yang penting yang akan dikemukakan kemudian.

3. Surprise (kejutan)
Sebuah cerita cerita yang baik selain harus mampu membangkitkan suspense pembaca juga mampu menciptakan surprise pada pembacanya. Alur sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bertentangan harapan kita sebagai pembaca (Abams, 1981 : 138).
4. Unity (kesatupaduan)
Kesatupaduan mengarah pada pengertian bahwa berbagai unsure yang ditampilkan, kususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan, yang mengandung konflik atau seluruh pengalaman hidup yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan sesuatu dengan yang lain, masalah kesatupaduan ini bukan merupakan suatu hal yang sulit untuk dipenuhi dalam karya-karya yang berbentuk cerpen atau cerita pendek, karya fiksi sebuah karya yang direncanakan, disiasat, dikreasi, dan diorganisasikan sedemikian rupa dengan sengaja sehingga keseluruhan aspek yang dilahirkan dapat saling berhubungan secara koherensif.

D. Penahapan Alur
Secara teoretis alur dapat diurutkan dan dikembangkan ke dalam tahap-tahap tertentu secara kronologis. Namun, dalam praktiknya dalam langkah “operasional” yang dilakukan pengarang tidak selamanya tunduk pada teoretis-kronologis tahap-tahap pengembangan atau lengkapnya struktur alur, dikemukakan sebagai berikut :

1. Tahap alur awal-tengah-akhir
Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles mengumumkan bahwa alur harus terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end) (Abrams, 1981 : 138).
a) Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut tahap perkenalan. Fungsi pokok dari tahap awal sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan peralatan dan penokohan.
b) Tahap tengah cerita dapat disebut dengan tahap pertikaian. Konflik yang dikisahkan seperti yang telah dikemukakan diatas, dapat berupa konflik internal, dan konflik eksternal. Pada tahap tengah ini klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik utama telah mencapai titik intensitas tertinggi.
c) Tahap akhir sebuah cerita atau bisa disebut akibat klimaks. Dalam teori klasik yang berasal dari aristoteles penyelesaian cerita dibedakan kedalam dua macam kemungkinan, yaitu kebahagiaan (happy end), dan kesedihan (sad end).
2. Tahapan alur
Dalam Mochtar Lubis (1978:10) mungkin mendasar dari pada pendapat RichardSummer, yaitu membedakan tahap alur menjadi lima bagian. Kelima tahap itu adalah sebagai berikut :
a) Tahap situation atau tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.
b) Tahap genering circumstances atau tahap peningkatan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa menyulut mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang.
c) Tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
d) Tahap climax, konflik dan pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakukan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
e) Tahap denouement atau tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.

E. Jenis-jenis Alur
Alur atau Plot adalah rangkaian peristiwa dari awal sampai klimaks serta penyelesaian yang dijalin berdasarkan hubungan urutan waktu atau hubungan sebab akibat sehingga membentuk keutuhan cerita. Macam – macam alur cerita berdasarkan susunannya ialah :

a) Alur Maju (progresif)
Alur maju (progresif) adalah sebuah alur yang memiliki klimaks di akhir cerita dan merupakan jalinan/rangkaian peristiwa dari masa kini ke masa lalu yang berjalan teratur dan berurutan sesuai dengan urutan waktu kejadian dari awal sampai akhir cerita. Secara runtut, cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konfliks), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian).

b) Alur Mundur (regresif)
Disebut sebagai plot mundur adalah sebuah alur yang menceritakan tentang masa lampau yang memiliki klimaks di awal cerita dan merupakan jalinan/rangkaian peristiwa dari masa lalu ke masa kini yang disusun tidak sesuai dengan urutan waktu/kejadian dari awal sampai akhir cerita.

c) Alur Sorot balik (Flashback)
Alur Sorot balik (Flashback) adalah alur yang terjadi karena pengarang mendahulukan akhir cerita dan setelah itu kembali ke awal cerita. Pengarang bisa memulai cerita dari klimaks kemudian kembali ke awal cerita menuju akhir.

d) Alur Campuran (maju-mundur)
Alur Campuran adalah alur yang diawali klimaks, kemudian melihat lagi masa lampau dan dilanjutkan sampai pada penyelesaian yang menceritakan banyak tokoh utama sehingga cerita yang satu belum selesai kembali ke awal untuk menceritakan tokoh yang lain.

F. Prinsip-prinsip dalam Menganalisis Alur
Ada tujuh prinsip dalam menganalisis alur karya sastra. Menurut Muhardi dan Hasanuddin WS (1992 : 49) ketujuh prinsip penganalisisan alur tersebut adalah:
1) Bagian unsur dalam alur adalah satuan peristiwa. Setiap satuan peristiwa menginformasikan tentang pelaku tindakan tempat dan waktu.
2) Pelaku dalam satuan peristiwa dapat lebih dari satu orang, sehingga pelaku memungkinkan terdiri atas beberapa tokoh.
3) Peristiwa dalam fiksi tidak hanya terdiri atas satuan yang setara atau setingkat.
4) Satuan peristiwa yang lebih rendah di samping sebagaimana batasan peristiwa di atas, dapat pula hanya memberitahukantentang pelaku dan keadaan saja.
5) Setiap satuan peristiwa tidaklah terdiri sendiri, ia saling berhubungan dengan satuan peristiwa lain.
6) Dalam proses penganalisisan penyusunan peristiwa menjadi hubungan kronologis atau kualitas yang diperlukan untuk pemahaman masalah fiksi.
7) Satuan peristiwa ada kemungkinan mempunyai persamaan dengan satuan peristiwa lain.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya sastra adalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering disebut dengan istilah alur. Dalam pengertiannya yang paling umum, plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita (Sundari, dalam Fananie, 2000:93).Seorang pengarang dalam menggerakkan cerita tentu dengan jalan mengalirkan kisah itu melalui peristiwa demi peristiwa, sehingga jalan cerita dapat dimengerti oleh pembacanya. Jalan cerita tersebut layaknya disebut alur. Esten (1984:27) mengatakan: “Alur adalah urutan (sambung-sinambung) peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita rekaan.”Aminuddin (1987:83) mengatakan: “Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pengarang dalam suatu cerita.“ Peristiwa-peristiwa dalam alur selalu disusun secara logis, seperti yang dikemukakan Sujiman (1988:30) peristiwa dalam cerita disusun di antaranya: alur linier atau tersusun, menyajikan rentetan peristiwanya secara temporal.

B. Kritik dan Saran.
Kami menyadari, dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun berharap agar ada kritik dan saran dari semua pihak terutama dosen. Kami hanyalah manusia biasa. Jika ada kesalahan, itu datangnya dari kami sendiri. Dan jika ada kebenaran, itu datangnya dari Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Semi, Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: Sridharma.

LAPORAN BACAAN FONOLOGI

LAPORAN BACAAN

FONOLOGI BAHASA INDONESIA (TINJAUAN DESKRIPTIF SISTEM BUNYI BAHASA INDONESIA)

Mata Kuliah : Fonologi Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Susilawati, S.Pd

Disusun Oleh : Desi Erawati

NPM : 13020211010

Kelas : Reguler (B)

Semester : Dua (2)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) YPM BANGKO TAHUN 2014

 

IDENTITAS BUKU

Buku Utama

Judul buku:  Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia)

Penulis             : Masnur Muslich

Penerbit           : Bumi Aksara

Cetakan           : Mei 2008

Tebal Buku       : x+ 189 halaman

Buku Pembanding I

Judul Buku : Fonologi Bahasa Indonesia

Penulis        : Amril dan Ermanto

Penerbit       : UNP Press

Cetakan      : 2007

Tebal Buku  : x+ 148 halaman

Buku Pembanding II

Judul Buku : Linguistik Umum

Penulis        : Abdul Chaer

Penerbit       : Rineka Cipta

Cetakan      : 2012

Tebal Buku  : x+ 386 halaman

 

 

Buku Pembanding III

Judul Buku : Asas-Asas Linguistik Umum

Penulis        : J.W.M Verhaar

Penerbit       : Gadjah Mada University Press

Cetakan      : April 2008

Tebal Buku  : x+ 412 halaman

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan bacaan buku yang berjudul “Fonologi Bahasa Indonesia“ ini dengan lancar.

Penulisan laporan bacaan  ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen.  Laporan bacaan ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan materi.

Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar, atas bimbingan dan arahan dalam penyusunan  laporan bacaan  ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini. Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai  “Fonologi Bahasa Indonesia” khususnya bagi penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan laporan bacaan buku “Fonologi Bahasa Indonesia” ini memanag masih jauh dari sempurna, untuk itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang dimaksudkan untuk penyempurnaan laporan bacaan  ini.

 

Bangko, Juni 2014

 

Penulis

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………………..  i

IDENTITAS BUKU ……………………………………………………………………………  2

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………  4

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………..  5

  1. pendahuluan ………………………………………………………………………  7
  2. Laporan Bagian Buku ………………………………………………………….. 9
  3. Laporan Bagian Buku Bab I : PENDAHULUAN………… 9
  4. Laporan Bagian Buku Bab 2 : FONETIK: GAMBARAN UMUM 11
  5. Laporan Bagian Buku Bab 3 : FONETIK: TAHAPAN KOMUNIKASI, PROSES PEMBENTUKAN, TRANSKRIPSI FONETIS…………… 14
  6. Laporan Bagian Buku Bab 4 : KLASIFIKASI BUNYI SEGMENTAL DAN DESKRIPSI BUNYI SEGMENTAL BAHASA INDONESIA……….. 18
  7. Laporan Bagian Buku Bab 5 : KLASIFIKASI BUNYI SUPRASEGMENTAL, BUNYI PENGIRING, DIFTONG, KLUSTER, SILABA………… 22
  8. Laporan Bagian Buku Bab 6 : FONEMIK: FONEM, DASAR, PROSEDUR ANALISIS……………………………………………………………………………….. 25
  9. Laporan Bagian Buku Bab 7 : KLASIFIKASI, DISTRIBUSI, REALISASI FONEM BAHASA INDONESIA…………………………………………… 26
  10. Laporan Bagia Buku Bab 8 : CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA…………………………….. 27
  11. Laporan Bagian Buku Bab 9 : PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA……………………………………………………………………………….. 28

 

  1. Komentar …………………………………………………………………………… 36

Buku Pembanding I…………………………………………………………………… 38

Buku Pembanding II…………………………………………………………………. 39

Buku Pembanding III ………………………………………………………………..  40

Penutup ……………………………………………………………………………………  41

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….  42

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAPORAN BACAAN

(Book Report)

  1. Pendahuluan

Penulis melaporkan buku yang berjudul “Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia)”. Buku ini dikarang oleh Masnur Muslich. Penerbit buku ini adalah Bumi Aksara. Buku ini diterbitkan pada tahun cetakan pertama, mei 2008, cetakan kedua juli 2009, cetakan ketiga april 2010. Hak Cipta Dilindungi Undang-undang (All Rights reserved). Tempat penerbitan buku ini di Jl. Sawo Raya No. 18, Jakarta.

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) buku ini:

Penulis : Masnur Muslich

Editor : Fatna Yustianti

Desainer : Kreasindo Mediacita

Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia).

Jakarta  :  Bumi Aksara

ISBN (13) : 978-979-010-426-6

ISBN (10) : 979-010-426-X

Tebal buku ini 189 halaman termasuk halaman daftar isi, halaman kata pengantar. Garis besar isi buku dimulai dari Bab 1 Pendahuluan pada halaman 1-6. Daftar isi memuat sembilan  Bab.

Penulis membuat garis besar dari buku yang dilaporkan mulai dari bagian buku Bab I Pendahuluan kearah “Fonologi dan Bidang Pembahasannya pada halaman 1, Kedudukan Fonologi dalam Cabang-Cabang Linguistik pada halaman 1-5, dan Manfaat Fonologi Dalam Penyusunan Ejaan Bahasa Bahan Pendalaman pada halaman 5-6.

Laporan bagian buku pada Bab II membahas tentang “Fonetik : Gambaran Umum“ yang meliputi pengantar, Fonetik dan Bidang Kajiannya, Ketidaklancaran Berujar yang Terkait dengan Kajian Fonetik, Kondisi Kajian Fonetik, Beberapa Tokoh Fonetik: Pandangan dan Kajiannya, Skop (bidang cakupan) Tujgas dan Tanggung Jawab Fonetisi dihalaman 7-24. Dan Bahan Pendalaman pada halaman 25.

Laporan bagian buku pada Bab III halaman 26-42 pengarang mengkaji tentang “Fonetik: Tahapan Komunikasi, Proses Pembentukan, Transkipsi Fonetis” yang meliputi tentang Tahapan Komunikasi, Proses Pembentukan Bunyi, dan Transkipsi Fonetis. Dan Bahan Pendalaman pada halaman 45.

Laporan bagian buku dalam Bab IV pengarang mengkaji tentang “Klasifikasi Bunyi Segmental dan Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia” yang meliputi Dasar Klasifikasi Bunyi Segmental, Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia. Pada halaman 46-58 serta Bahan Pendalaman pad halaman 60.

Laporan bagian buku pada Bab V dihalaman 61-73 pengarang mengkaji tentang “Klasifikasi Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster, Silaba” yang meliputi Tentang Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong dan Kluster, Silaba (suku kata). Serta Bahan Pendalaman pada halaman 76.

Laporan bagian buku pada Bab VI pengarang mengkaji tentang “Fonemik: Fonem, Dasar, Prosedur, Analisis” yang Meliputi tentang Definisi Fonem dan Jenisnya, Dasar-Dasar Analisis Fonem, dan Prosedur Analisis Fonem dibahas pada halaman 77-84. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 93.

Laporan bagian buku pada Bab VII pengarang mengkaji tentang “Klasifikasi, Distribusi, Realisasi Fonem Bahasa Indonesia” adapun yang pembahasannya meliputi Klasifikasi Fonem Bahasa Indonesia, Dristibusi Bahasa Indonesia, Realisasi Fonem Bahasa Indonesia, dan Fonem dan Grafem Bahasa Indonesia yang dibahas pada halaman 94-104. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 111.

Laporan bagian buku pada Bab VIII pengarang mengkaji tentang “Ciri-Ciri Prosodi atau Suprasegmental Dalam Bahasa Indonesia” adapun pembahasannya meliputi tentang Nada, Tekanan, Durasi, Jeda, Intonasi. Yang dibahas pada halaman 112-115. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 117.

Laporan bagian buku pada Bab IX pengarang mengkaji tentang “Perubahan Bunyi Dalam Bahasa Indonesia” pembahasannya meliputi Asimilasi, Disimilasi, Modifikasi Vokal, Netralisasi, Zeroisasi, Metatesis, Diftongisasi, Monoftongisasi, dan Anaptiksis, yang dibahas pada halaman 118-126. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 128.

Laporan bagian uku pada halaman 129 terdapat Daftar Pustaka, serta Lampiran I tentang Ejaan Dalam Naskah Dinas pada halaman 135. Lampiran II tentang Persolan di sekitar Bentuk Ucapan Baku Bahasa Indonesia, pada halaman 163. Dan Lampiran III tentang Rencana Perkuliahan Semester (RPS) pada halaman 182. Serta Profil penulis pada halaman 187.

 

  1. Laporan Bagian Buku
  2. Laporan Bagian Buku Bab I Pendahuluan
    • Fonologi dan Bidang Pembahasannya

Pada tahap awal penulis menerangkan bahwa bahasa adalah sistem bunyi ujar yang sudah didasri oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam betuk bunyi ujar. Meskipun dalam praktik berbahasa  dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebaai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik. Bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik. Bunyi-bunyi ujar juga dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Pengarang menjelaskan bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari stuktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.

 

  • Kedudukan Fonologi Dalam Cabang-Cabang Linguistik

Pengarang menjelaskan bahwa fonologi sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain baik linguistik terotis maupun terapan. Sebut saja seperti morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan pisikolinguistik. Adapun dalam bidang morfologi yang analisisnya berkosentrasi pada tataran stuktur internal kata (mulai dari prilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Pengarang juga menjelaskan manfaat fonologi dalam bidang sintaksis yang analisisnya berkosentrasi pada tataran kalimat tentang intonasi, begitu juga persoalan jeda dan tekanan pada kalimat. Didalam bidang ilmu semantik penulis menjelaskan bahwa analisisnya berkosentrasi pada persoalan makna kata sebagai contoh kata tahu dan kata tau jika diucapkan  secara bervariasi akan bermakna lain. Didalam bidang ilmu leksikologi dan juga leksokografi penegarang menjelaskan bahwa analisisnya pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak , sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Pengarang juga menjelaskan pada bidang dialektologi, yang bermaksud menekankan “wilayah” pemakian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakian bahasa, baik secara sosial maupun geografis.

 

1.3 Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Ejaan Bahasa

Pada sub bab ini penulis menerangkan bahwa tata cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) biasanya memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang brsangkutan.sebagai contoh ejaan bahasa indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa indonesia. Terutama yang berkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis. Kita tahu bahwa ejaan tumbuh beratus-ratus tahun bahkan beribu-ribu tahunsetelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tubuh dan berkembangdengan sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa, bukan sebaliknya. Jadi, tidaklah ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan) harus mengikuti dan tunduk pada ejaan (bahasa tulis.

 

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab II Fonetik Gambaran Umum
    • Pengantar Fonetik Gambaran Umum

Pengarang pada bab ini menjelaskan bahwa fonetik merupakan bidang kajian ilmu pengetahuan yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombag-gelombang bunyi bahasa yang dikelurakan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia. Pengrang juga memberikan gambaran secara umum tentang pembagian fonetik, dimna fonetik dibagi menjadi tiga bidang kajian, yaitu fonetik fisiologis, fonetik akustis, dan gonetik auditoris atau fonetik persepsi (Dew dan Jensen, 1977:19).

Pada bab ini pengarang menjelaskan bahwa fonetik fisiologis adalah bidang fonetik yang mengkaji tentang penghasilan bunyi-bunyi bahasa berdasrkan fungsi mekanisme biologis organ tutur manusia. Istilah fonetik fisiologis ini jarang dipakai, yang sering digunakan adalah fonetik artikulatoris. Sedangkan yang dimaksud dengan fonetik akustik  yaitu yang kajiannya bertumpu pada stuktur fisik bunyi-bunyi bahasa dan bagaimana alat pendengaran manusia memberikan reaksi kepada bunyi-bunyi bahasa yang diterima (Malmberg, 1963: 1) ada tiga ciri utama yang dijabarkan penulis yaitu frekuensi, tempo, dan kenyaringan. Alat-alat yang digunakan untuk mengkaji gelombang bunyi bahasa dan mengukur pergerakan udara antara lain, spektograf (alat unuk menganalisis dan memamparkan frekuensi dan tekanan, oscilloskop (alat untuk memamparkan ciri-ciri kenyaringan bunyi) (Lihat Painter, 1979). Adpun yang terakhir yaitu fonetik auditoris atau fonetik persepsi adapun yang diaksud dengan fonetik ini adalah fonetik yang mengarahkan kajiannya pada persoalan bagaimana manusia menentukan plihan bunyi-bunyi yang diterima alat pendengarannya. Dengan kata lain, kajiann ini meneliti bagaimana seseorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang diterimanya sebagai bunyi-bunyi yang perlu diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa bermakna, dan apakah ciri-ciri bunyi bahasa yang dianggap penting oleh pendengar dalam usahanya untuk membeda-bedakan setiap bunyi yang ia dengar (Singh, 176: 5).

 

  • Ketidaklancaran Berujar yang Terkait dengan Kajian Fonetik

Pada sub bab ini pengarang menjelaskan bahwa pada umumnya, penutur yang mempunyai masalah ketidaklancaran berujar ini akan sukar atau tidak langsung merespon sewajarnya atau keadaan lain yang tidak diharapkan dalm suatu percakapan. Masalah ketidaklancaran berujar ini dapat dilihat dari segi atau keadaan kelemahan organ penuturnya, keadaan suara (terutama dari segi nada dan kenyaringan), dan kelancaran beruajar (Thomas dan Carmack, 1990: 2). Permasalahan ini dapat disebabkan oleh kegagapan (stuttering), kelumpuhan saraf otak (cerebral polsied), afasia (apasia), disleksia (dyslexia), disatria (disathria), dan lain-lain.

 

  • Kondisi Kajian Fonetik

Didalam sub bab ini pengarang membedakan kondisi kajian fonetik menjadi dua yaitu kajian fonetik barat dimana kajian ini merupakan kajian linguistik yang dilakukan dengan cara scientific atau ilmiah. Berbagai alat pemeriksaan, penyelidikan dan percobaan diadakan. Selama ini kajian fonetik ilmiah belum berkembang dengan baik. Hasil kajian hanya memberikan penjelasan kepada kita mengenai bagaimana gerakan alat-alat bicara dan hasil-hasil yang diperolehnya. Penjelasan-penjelasan ini belum sampai kepada kegunaan praktis dalam kehidupan berbahasa sehari-hari termasuk misalnya, bagaimana menangani penutur yang mempunyai cacat bicara.

Adapun yang kedua yaitu sejarah perkembangan kajian fonetik dimana pengkajian fonetik ditangani secara serius sejak terbentuknya International Phonetic Assosiation (IPA) pada tahun 1886 di Barat, walaupun buku-buku yang dibicarakan bunyi bahasa telah terbit sejak tahun 1569. Lambang-lambang fonetik telah dibuat oleh asosiasi ini. Huruf-huruf ini terdiri dari huruf latin yang ditambah dengan beberapa hurup ayn diciptakan, dan beberapa tanda diakritik. Yang berusaha (dan dipercaya oleh IPA) untuk menyusun huruf-huruf ini adlah Ellis, Sweet, Passy, dan Daniel Jones. Huruf-huruf ini sesuia sekali dengan harapan fonetisi pada umumnya karena tiap-tiap huruf melambnagkan bunyi.

 

  • Beberapa Tokoh Ilmu Fonetik: Pandangan dan Kajiaannya

Di dalam sub bab ini pengarang menyebutkan beberapa tokoh ilmu fonetik diantaranya yaitu Bertill Malmbreg (1968), seorang fonetisi Prancis, mendefinisikan fonetik sebagai pengkajian bunyi-bunyi bahasa. Fonetik ialah pengkajian yang lebih menitik beratkan pada ekspresi bahasa, bukan isinya. Yang dipentingkan adalah bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan penutur, bukan makna yang ingin disampaikan.

Adapun yang kedua yaitu J.D. O’Connor menurutnya fonetik adalah ilmu yang bersangkut paut dengan bunyi-bunyi ujar yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi-bunyi yang dapat didengar ini kemudian diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang terdapat dalam bahasa masyarakat yang bersangkutan. Seterusnya, formula bunyi-bunyi ujar ini diberi “fungsi” tertentu sehingga dapat dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.

Kemudian yang ketiga yaitu David Abercrombi ia berpendapat bahwa fonetik adalahilmu yang bersifat teknis. Dalm ilmu ini, suatu bahasa akan dilihat secara analitis, yaitu tidak saja mendengar percakapan, tetapi juga menyadari setiap gerak jasmani yang melatar belakanginya. Sewaktu kita bernapas, misalnya, udara tidak dikeluarkan terus menerus. Aliran udara tidak berkelanjutan. Otot pernapasan tegang dan kendur berulang-ulang selama dalam satu pernapasan yang panjang. Ternyata, setiap ketegangan dan hembusan yang dihasilkan merupakan suku kata (syllable). Satu suku kata bersamaan dengan satu gerakan tegang dan kendur ini. Satu suku kata bersamaan dengan gerakan ujaran. Irama napas/dada begitu teratur dan sistematis sehingga bisa disebut sebagai nada. Satu detik memuat lima suku kata. Kenyataan ini merupakan landasa bagi semua bunyi bahasa.

Abercrombie juga berpendapat bahwa prilaku ujaran sangat kompleks karena selain gerakan paru-paru juga da gerakan lidah, gigi, langit-langit lembut dan langit-langit keras yang terus menerus. Kalau kita berusaha memecah ujaran, semata-mata hanya untuk kepentingan analisis bunyi bahasa tersebut. Ujaran inilah nantinya dijadikan unsur-unsur dasar segmental (peruasan bunyi).

  • Skop (bidang cakupan), Tugas dan Tanggung Jawab Fonitisi

Disini pengarang menjelaskan bahwa fonitis lebih berminat untuk melihat bagaimana pergerakan udara dihubungkan dengan pergerakan organ-organ penutur dan koordinasi semua pergerakan ini sehinga menghasilakn bunyi. Fonetis juga berminat bagaimana arus udara bergetar antara mulut penutur dan telinga pendengar. Bidang fonetik ini berkaitan dengan bidang ilmu fisika yang mengkaji masalah akustik. Skop fonetis juga melibatkan minat dalam proses pendengaran. Ilmu ini sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan peranan fisiologi telinga atau aktivitas indra antara telinga dan otak, tetapi lebih pada kepekaan pendengaran.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab III Fonetik: Tahapan Komunikasi, Proses Pembentukan, Transkipsi Fonetis
    • Tahapan Komunikasi

Pada bab ini pengarang menjelaskan bahwa kegiatan komunikasi lisan dimulai dari otak pembicara. Dengan memanfaatkan fungsi kreatif otak, O1 menemukan atau mempunyai gagasan ide (ide) yang akan disampaikan kepada O2. O1 memilih kata, frase, atau ungkapan yang dapat mewakili gagasan tersebut, lalu menyusunnya dalam bentuk kalimat yang sesuai dengan sistem bahasa yang dipakainya. Tahap pemilihan unsur kebahasaan yang sesuai dengan ide disebut tahap linguistik. Setelah gagasan tersusun dalam otak, kemudian otak mengaktifkan saraf motoris dan mengirimkan perintah dalam bentuk rangsangan-rangsangan ke otot-otot alat ucap. Atas perintah ini, alat ucap mengadakan gerakan-gerakan sedemikian rupa sehingga memunculkan perubahan tekanan udara di sekeliling yang berpotensi menimbulkan fonasi. Fungsi transmisi otak ini berada pada tahap fisiologis. Perubahan tekanan udara yang diakibatkan oleh gerakan alat ucap tadi, menimbulkan gelombang bunyi yan merambat keluar dari alat ucap O1 oleh hantaran udara menuju ke alat pendengar O2. Posisi gelombang buyni yang berada antara alat ucap O1 dan alat dengar O2 ini disebut tahap akustis.

Berdasrkan skema dan penjelasan tersebut bisa kita ketahui bahwa yang menjadi cakupan fonetik adalh tahap fisilogis (yaitu ketika O1 memproduksi bunyi), tahap akustis (yaitu ketika gelombang bunyi bergerak dari alat ucap O1 menuju ke alat dengar O2), dan tahap fisiologis (yaitu ketika gelombang bunyi didengar oleh alat dengar O2 sebagai bunyi). Tahap linguistik pada O1 dan O2 tidak termasuk dalam bahasan fonetik karena sudah menyangkut neurologi (khusnya neuorolinguistik).

 

  • Proses Pembentukan Bunyi

Pada tahap ini pengarang menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan bunyi bahasa  terdapan sarana utama yang berperan yaitu adalah (1) arus udara, (2) pita suara, (3) alat ucap. Ketika sarana ini juga yang oleh fonitisi dipakai sebagai dasar pengklasifikasian bunyi. Adapun ayng pertama yaitu arus udara. Arus udara menjadi sumber energi utama pembentukan bunyi bahasa merupakan hasil kerja alat atau organ tubuh yang dikendalikan oleh otot-otot tertentu atas perintah saraf oatak. Dengan demikian, arus udara ini tidak muncul dengan sendirinya. Tetapi diciptakan atas perintah saraf-saraf otak tertentu. Apakah arus udara menuju ke luar dari paru-paru (arus udara egresif), atau arus udara menuju paru-paru (arus udara ingresif).

Adapun yang kedua yaitu pita suara.  Pita suara merupakan sumber bunyi. Ia bergetar atau digetarkan ole udara yang keluar atau masuk paru-paru. Pita suara terletak dalam kerogkongan (larynx) dalm posisi mendampar dari muka (anterior) kebelakang (posterior). Bergetarnya pita suara dengan cara membuka dan menutup. Lubang pada saat pita suara itu membuka disebut glotis. Membukanya dari muka menuju kebelakang. Kadang-kadang membukanya tidak sampai ke belakang betul. Menutupnya pun mulai dari muka. Banyak gelombang perdetik disebut frekuensi bunyi. Dengan demikian, suatu bunyi yang diucapkan orang berfrekuensi 141 gelombang per detik, berarti pita suara membuka menutup sebanyak 141 kali per detik. Tenggorokan yang terletak diatas pita suara, rongga mulut, dan rongga hidung, berperan sebagai resonator atau peninggi bunyi yang diciptakan oleh pita suara.

Yang ketiga yaitu alat-alat ucap disini alat ucap mempunyai fungsi utama untuk kelangsungan hidup kita. Paru-paru mempunyai fungsi utama menghisap zat pembakaran untuk disalurkan kedalam darah dan menyalurkan zat asam arang ke luar tubuh. Pita suara mempunyai fungsi utama menjaga agar tidak ada benda-benda apapun yang masuk kesaluran pernapasan. Lidah mempunyai fungsi utama memindahkan makanan yang akan atau sedang dikunyah dan merasakan makanan yang kan ditelan. Gigi mempunyai fungsi utama melumatkan makanan yang akan masuk ke perut sehinga memudahkan kerja pencernaan.

Pengarang menjelaskan bahwa organ-organ tubuh yang dipergunakan sebagai alat ucap dapat dibagi menjadi tiga komponen yaitu (1) komponen supraglotal, (2) kompenen laring, (3) kompenen Subraglotal. Adapun komponen  supraglotal ini terdiri dari tiga ronnga yang berfungsi sebagai lubang resonansi dalam pembentukan bunyi, yaitu rongga kerongkongan (faring), rongga hidung dan rongga mulut. rongga kerongkongan yang terletak diatas laring ini merupakan tabung dan di bagian atasnya bercabang dua, yang berwujud ronnga mulut dan rongga hidung. Rongga hidung mempunyai bentuk dan dimensi yang relatif tetap tetapi dalm kaitannya dengan pembentukan bunyi mempunyai fungsi sebagai tabung resonansi. Peran ini terjadi ketika arus udara dari paru-paru mengalami getaran sewaktu melalui pita suara, dan getaran itu  menggetarkan udara yang ada dalam rongga kerongkongan, rongga mulut, dan rongga hidung. Rongga mulut merupakan organ ayng paling penting diantara ketiga rongga yang ada supraglotal. Selain dimensi dan bentuknya sangat bervariasi, bunyi-bunyi ujar yang dihasilakan dari rongga mulut ini sangat banyak dan bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena keterlibatan lidah, bibir, dan juga rahang yang mudah digerakkan. Bagian-bagian alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut yang bisa digerakkan desebut artikulator, dan bagian-bagian alat ucap yang menjadi sasaran sentuh disebut titik artikulasi.

Kemudian yang kedua yaitu kompnen laring atau tenggorokkan ini merupakan koatk yang terbentuk tulang rawan berbentuk lingkaran. Didalamnya terdapt pita suara. Laring dengan kerja pita suara inilah yang berfungsi sebagai klep yang mengatur arus udara antara paru-paru, mulut, dan hidung. pita suara yang denagn kelenturannya bisa membuka dan menutup ini bias memisahkan dan sekaligus menggabungkan antara udara yang ada pada paru-paru dan yang ada pada mulut dan hidung. apabila dibuka lebar-lebar udara yang ada pada paru-paru bisa berhubungan dengan udara yang ada pada mulut dan hidung. kinerja pita suara dilaringlah yang mengakibatkan penggolongan bunyi bahasa menjadi bunyi bersuara (hidup) dan bunyi tidak bersuara (mati).

Dan yang terakhir yaitu komponen subglotal ini terdiri atas paru-paru kiri dan kanan, saluran bronkial, dan saluran pernapasan (trakea). Fungsi utama komponen ini adalah untuk pernapasan, yaitu mengalirkan udara. Proses penggaliaran udara yang berganti-ganti arah (kedalam dan keluar) ini disebabkan oleh berkembang kempisnya kedua paru-paru yang berrongga. Perlu juga diperhatikan bahwa proses penghasilan bunyi-bunyi bahasa berlangsung secara kontinum atau terus menerus. Demi kepentingan analisis bunyi, arus bunyi ayng kontinum itu di penggal-penggal, diruas-ruaskan atau disegmen-segmenkan sampai terwujud segmen bunyi yang paling kecil. Arus bunyi ayng bisa diruas-ruskan disebut bunyi segmental. Dan sebaliknya, arus bunyi ayng tidak bisa diruas-ruaskan disebut  non-segmental atau suprasegmental.

 

  • Transkripsi Fonetis

Disini pengarang menjelaskan bahwa traskipsi fonetis adalah rekaman bunyi dalam bentuk lambang tulis. Lambang bunyi atau lambang fonetis  yang sering dipakai adalah lambang bunyi ayng diterapkan oleh The International Phoetic Asosiation (IPA). Yaitu persatuan para guru bahasa yang berdiri sejak akhir abad ke-19, ayng didirikan untuk mempoulerkan metode baru dalam pengajaran bahasa yang lebih menekan pada penggajaran bahasa lisan. Dalam melakukan modifikasi bentuk huruf selalu diusahakan agar bunyi-bunyi yang banyak persamaannya diberi lambang atau bentuk dasar yang sama. Perbedaanya hanyalah penambahan diakritik saja. Disini juga pengarang menyertakan lambang-lambang fonetik IPA yang diperkirakan terdapat dalam bahasa Indonesia.

  1. Laporan Bagian Buku Bab IV Klasifikasi Bunyi Segmental dan Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia

4.1 Dasar Klasifikasi Bunyi Segmental

Pada bab ini pengarang menjelaskan bahwa klasifikasi bunyi segmental didasarkan berbagai macam kreteria, yaitu (1) ada tidaknya gannguan, (2) mekanisme udara, (3) arah udara, (4) pita suara, (5) lubang lewatan udara, (6) mekanisme artikulasi, (7) cara gangguan, (8) maju mundurnya lidah, (9) tinggu rendahnya lidah, (10) bentuk bibir.

Ada tidaknya gangguan disini adalah penyempitan atau penutupan yang dilakukan oleh alat-alat ucap atas arus udara dalam pembentukan bunyi. Dilihat dari ada tidaknya ganguan ketika bunyi diucapkan. Bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bunyi vokoid, dan bunyi kontoid. Dimana bunyi vokoid, yaitu bunyi yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi vokoid ini lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan  dengan bunyi-bunyi kontoid. Sedangkan bunyi kontoid yaitu bunyi yang dihasilakn dengan melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi kontoid ini lebih banyak dibandingkan bunyi vokoid, seiring dengan banyaknya jenis artikulator yang terlibat dalam upaya penyempitan atau penuturan ketika bunyi itu diucapkan.

Kemudian pengarang juga membahas tentang mekanisme udara yang dimaksud mekanisme udara yaitu darimana datangnya udara yang menggerakkan pita suara sebagai sumber bunyi. Dilihat dari kreteria ini, bunyi-bunyi bahasa bisa dihasilkan dari tiga kemungkinan mekanisme udara, yaitu (1) mekanisme udara pulnomis yaitu udara yang datang dari paru-paru menuju keluar, (2) mekanisme udara laringal atau faringal yaitu udara yang datang dari laring atau faring, (3) mekanisme udara oral yaitu udara yang datang dari mulut.

Kemudian pengarang juga menjelaskan tentang arah udara, dilihat dari arah udara ketika buny dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, bunyi egresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara menuju keluar melalui rongga mulut atau rongga hidung. yang kedua yaitu bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara masuk kedalam paru-paru.

Selanjutnya yaitu pita suara, dilihat dari bergetar tidaknya pita suara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu satu, bunyi mati atau bunyi tak bersuara yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara tidak melakukan gerakkan membuka menutup sehingga getarannya tidak signifikan. Misalnya bunyi [k], [p], [t], [s]. Kedua yaitu bunyi hidup atau bunyi bersuara, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara melakukan gerakan membuka dan menutup secara cepat sehingga bergetar secara signifikan. Misalnya bunyi, [g], [b], [d], [z].

Selanjutnya pengarang menjelaskan tentang lubang lewatan udara, dilihat dari  lewatan udara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga. Yang pertama yaitu, bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut, dengan menutup velik pada dinding faring. Yang kedua yaitu bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga hidung, dengan menutup rongga mulut dan membuka velik lebar-lebar, [ m ] merupakan bunyi nasal.  Yang ketiga yaitu bunyi sengau, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut dan rongga hidung, dengan membuka velik sedikit. Bunyi “bindeng” (istilah jawa).

Selanjutnya pengarang menjelaskan tentang mekanisme artikulasi adalah alat ucap mana yang bekerja atau bergerak ketika menghasilkan bunyi bahasa. Yang pertama yaitu, Bunyi bilabial, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan bibir (labium) atas. Caranya bibir bawah (sebagai artikulator) menyentuh bibir atas (sebagai titik artikulasi). Misalnya bunyi  [p], [b], [m], dan [w]. Kemudian Bunyi labio-dental, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium)bawah dan gigi (dentum) atas. Caranya bibir bawah (sebagai artikulator) menyentuh gigi atas (sebagai titik artikulasi).  Misalnya [f], dan [v]. Kemudian Bunyi apiko-denta, yaitu buny yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gigi (dentum) atas. Caranya ujung lidah (sebagai artikulator) menyentuh gigi atas (sebagai titik artikulasi). Misalnya [t] pada [pintu], [d] pada [dadi]  (jawa), dan [n] pada [minta]. Kemudian Bunyi apiko-alveolar. yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas. Caranya ujung lidah (sebagai artikulator) menyentuh kaki gii atas (sebagai titik artikulasi) Misalnya [t] pada (p ə n t U η ] (jawa), [d] pada [d u d U], dan [n] pada [nama]. Kemudian Bunyi lamino-palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan tengah lidah (lamina) dan langit-langit keras (palatum). Caranya lidah (sebagai artukulator) menyentuh langit-langit keras (sebagai titik artikulasi). Misalnya [c], [j], [ñ],[ŝ]. Kemudian Bunyi dorso-velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Caranya pangkal lidah (sebagai artikulator).

Pada tahap selanjutnya pengarang menjelaskan tentang cara gangguan, dilihat dari cara gangguan arus udara oleh artikulator ketika bunyi diucapkan bunyi dapat dikelompokkan menjadi bunyi stop, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup rapat sehingga udara terhenti seketika, lalu dilepaskan kembali secara tiba-tiba. Tahap pertama (penutupan) disebut implosif (atau stop implosif) tahap kedua pelepasan disebut eksplosif ( atau stop eksplosif). Misalnya [p’] pada [atap’] disebut bunyi stop impolsif, [p] pada [paku] disebut bunyi stop eksplosif. Contoh bunyi stop yang lain [b], [t], [d], [k], [g], [?].  Selanjutnya yaitu Bunyi kontinum (alir), yaitu kebalikan dari bunyi stop, yaitu bunyi yang dihasikan dengan cara arus udara  tidak ditutup secara total sehingga arus udara tetap mengalir. Berarti bunyi-buyi selain bunyi stop merupakan bunyi kontinum, yaitu bunyi afrikatif, frikatif, tril, dan lateral. Selanjutnya yaitu Bunyi afrikatif (paduan), yaitu bunyi yang dihasilkan denagn cara arus udara ditutup rapat, etapi kemudian dilepas sacara berangsur-rangsur. Misalnya [c], [j]. Selanjutnya yaitu Bunyi frikatif (geser), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara dihambat sedemikian rupa sehingga udara tetap dapat keluar, misalnya [f], [v], [s], [z], [ŝ], [x]. Selanjutnya yaitu Bunyi tril (getar), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup dan dibuka berulang-ulang secara cepat. Misalnya [r], [R]. Selanjutnya  yaitu Bunyi lateral (samping), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup sedemikian rupa sehingga udara masih bisa keluar melalui salah satu atau kedua sisinya. Misalnya, [l], [lima]. Adapun yang terakhir yaitu Bunyi nasal (hidung), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara yang lewat rongga mulut ditutup rapat, tetapi arus udara dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya [m], [n], [ñ], [η].

Kemudian pengarang juga menjelaskan tentang tinggi rendahnya lidah, dilihat dari tingi rendahnya lidah ketika bunyi itu diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu (a) bunyi tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras, misalnya bunyi [i] pada [kita], (b) bunyi agag tinggi yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, sehingga agag mendekati langit-langit keras. Misalnya [e] pada [lele], (c) bunyi tengah yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah ditengah misalnya [ə] pada [əmas], (d) bunyi agag rendah yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah agag merendah, sehingga agag menjauhi langit-langit keras. Misalnya [O] pada [jOrO?], (e) bunyi rendah yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah sehinga menjauh dari langit-langit keras. Misalnya [a] pada [bata].

Pengarang juga menjelaskan tentang maju mundurnya lidah dilihat dari maju mundurnya lidah ketika bunyi diucapkan bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (a) bunyi depan, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian lidah depan di naikkan. Misalnya [i], [e], [a], (b) bunyi pusat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata tidak ada bagian lidah yang dinaikkan. Misalnya [ə], (c) bunyi belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Misalnya [u], [U], [o], [O].

Adapun yang terakhir pengarang menjelaskan tentang bentuk bibir, dilihat dari bentuk bibir ketika bunyi diucapkan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu (a) bunyi bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat. Misalnya [u], [U], [o], [O]. (b) bunyi tidak bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya [i], [a].

 

 

4.2 Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia

Pada tahapan ini penulis menjelaskan bahwa bunyi segmental baik vokoid maupun kontoid yang diucapkan oleh penutur bahasa Indonesia sangat variatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai distribusi dan lingkungan. Didalam sub bab ini juga pengarang mensertakan tabel yang berisi tentang jumlah dan variasi bunyi kontoid dan bunyi vokoid.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab V Klasifikasi Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster, Silaba

5.1  Bunyi Suprasegmental

Pada tahapan ini pengarang menjelaskan bahwa bunyi-bunyi suprasegmental oleh para fonitisi dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu yang pertama bunyi-rendah (nada,tona, pitch) yaitu ketika bunyi segmental diucapakan selalu melibatkan nada, baik nada tinggi, sedang, atau rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Variasi-varisai nadapun bisa dipakai untuk menyatakan perbedaan makna pada tataran kata dan perbedaan maksud pada tataran kalimat. Pada tataran kata, variasi-variasi pembeda makna tersebut tona, yang ditandai dengan angka arab [1] untuk nada rendah setingkat nada do, [2] untuk nada biasa setingkat re,[3] untuk nada setingkat nada mi, [4] untuk nada paling tinggi setingkat nada fa.

Selanjutnya yaitu  keras-lemah (tekanan, aksen, stress) yaitu bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi otot ketika bunyi diucapkan. Variasi tekanan ini bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu, tekanan keras yang ditandai dengan [‘], tekanan sedang yang ditandai dengan [], tekanan lemah yang ditandai dengan [‘]. Dan tidak ada tekanan, yang ditandai dengan tidak adanya tanda diakritik.

 

 

Selanjutnya pengarang menjelaskan tentang panjang-pendek (durasi, duration)  yaitu bunyi-bunyi segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu diucapkan. Bunyi panjang untuk vokoid diberi tanda satuan mora, yaitu satuan waktu pengucapan, dengan tanda titik. Tanda titik satu [.] menandakan satu mora, tanda titik dua [:] menandakan dua mora, dan tanda titik tiga [:.] menandakan tiga mora, sementara itu, bunyi-bunyi untuk kontoid diberi tanda rangkap, dengan istilah geminat.

Kemudian yang ke empat atau yang terakhir pengarang menjelaskan tentang kesenyapan (jeda, juncture). Yang dimaksud penghentian yaitu pemutusan suatu arus bunyi-bunyi segmental keika diujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan terjadi kesenyapan diantara bunyi-bunyi yang terputus itu. Kesenyapan ini bisa berada diposisi awal, tengah, dan akhiran ujaran. Kesenyapan wal terjadi ketika bunyi itu akan diujarkan, misalnya ketika akan mengujarkan kalimat ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sebelumnya. Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan kata-kata dalam kalimat, misalnya antara ucapan ini dan buku pada ini buku; atau ucapan pada antarsuku kata, misalnya antara suka kata i dan ni pada kata ini, walaupun kesenyapan itu sangat singkat. Kesenyapan akhir terjadi pada akhir ujaran, misalnya ujaran akhir kalimat ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sesudahnya.

 

5.2 Bunyi Pengiring

Ditahap ini pengarang menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan bunyi pengiring. Bunyi pengiring adalalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan. Oleh karena itu, ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan. Yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang tindah yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau sempurna. Bunyi-bunyi sertaan dibagi menjadi beberapa kelompok yang pertama yaitu bunyi efektif, bunyi klik, bunyi aspirasi, bunyi eksplosif (bunyi lepas), bunyi retrofleksi, bunyi labialisasi, bunyi palatalisasi, bunyi glotalisasi, bunyi natalisasi.

Selain bunyi pengiring sebagai gejala koartikulasi atau artikulasi sertaan, ada juga gejala pengucapan bunyi dengan usaha seminimal mungkin, yang disebut silimitud. Misalnya [r] pada [ rambUt’] dan [r] pada [riwayat]. Hal ini dipengaruhi oleh vokoid yang mengikutinya.

 

5.2 Diftong dan Kluster

Pada tahapan ini pengarang menjelaskan tentang bunyi-bunyi segmental, baik vokoid maupun kontoid ada yang diucapkan secara rangkap. Perangkapan bunyi ini ditandai dengan satuan hembusan udara ketika bunyi itu diucapkan. Perangkapan bunyi vokoid disebut diftong, sedangakn perangkapan bunyi kontoid disebut kluster, untuk bunyi vokoid, perangkapan hanya maksimal dua buah, sedangkan untuk bunyi kontoid perangkapannya antara dua dan tiga buah, walaupun yang terbanyak adalah dua buah.

 

5.3 Silaba (suku kata)

          pengarang menjelaskan bahwa silaba atau suku kata sudah lama dikenal, terutama dalam kaitannya dengan sistem penulisan. Sebelum alfabet lahir, sistem penulisan didasarkan atas suku kata ini yang disebut tulisan silabari. Walaupun suku kata ini sudah didasari oleh penutur tetapi dalam prakteknya sering terjadi kesimpangsiuran, terutama ketika dihadapkan pada penulisan. Hal ini karena adanya perbedaan orientasi tentang suku kata ini.

Untuk memahami tentang suku kata ini, para linguis atau fonitisi berdasarkan pada dua teori yang pertama yaitu teori sonoritas yaitu teori yang menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) diantara bunyi yang diucapkan. Puncak kenyaringan ini ditandai dengan denyutan dada yang menyebabkan paru-paru mendorong kedalam.

Yang kedua yaitu teori prominans yaitu teori yang menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri-ciri supranatural, terutama jeda (juncture). Ketika rangkaian bunyi itu diucapkan, selain terdengan satuan kenyaringan bunyi, juga terasa adanya jeda diantaranya, yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah kenyaringan.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab VI Fonemik: Fonem, Dasar, Prosedur Analisis

6.1 Definisi Fonem dan Jenisnya

Pada sub bab ini pengarang menjelaskan bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan bunyi terkecil tersebu berfungsi sebagai pembeda makna ? satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah melakukan pembuktian secara empiris, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa yang diteliti. Dengan demikian, kalau kita ingin mengetahui  fungsi bunyi bahasa indonesia, misalnya kita harus membandingkan bentuk-bentuk bahasa indonesia.

 

6.2 Dasar-dasar Analisis Fonem

Dasar-dasar analisis fonem adalah pokok-pokok pikiran yang dipakai sebagai pegangan untuk menganalisis fonem-fonem suatu bahasa. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut: (1) Bunyi-bunyi suatu bahasa cenderung dipengaruhi oleh lingkungannya. (2) Sistem Bunyi suatu bahasa berkecenderungan bersifat simetris. (3) Bunyi-bunyi suatu bahasa cenderung berfluktasi. (4) Bunyi-bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis digolongkan tidak berkontras apabila berdistribusi komplementer dan/atau bervariasi bebas. (5) Bunyi-bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis digolongkan ke dalam fonem yang berbeda apabila berkontras dalam lingkungan  yang sama atau mirip.

 

6.3 Prosedur Analisis Fonem

Pertama, mencatat korpus data setepat mungkin dalam transkripsi fonetis. Kedua, mencatat bunyi yang ada dalam korpus data ke dalam peta bunyi. Ketiga, memasangkan bunyi-bunyi yang dicurigai karena mempunyai kesamaan fonetis. Keempat, mencatat bunyi-bunyi selebihnya karena tidak mempunyai kesamaan fonetis. Kelima, memcatat bunyi-bunyi yang berdistribusi komplementer. Keenam, mencatat bunyi-bunyi ynag bervariasi bebas. Ketujuh, mencatat bunyi-bunyi yang berkontras dalam lingkungan  yang sama (identis). Kedelapan, mencatat bunyi-bunyi yang berkontras dalm lingkungan yang mirip (analogis). Kesembilan, mencatat bunyi-bunyi yang berubah karena lingkungan. Kesepuluh, mencatat bunyi-bunyi dalam inventori fonetis dam fonemis, condong menyebar secara simetris. Kesebelas, mencatat bunyi-bunyi yang berfluktuasi. Keduabelas, mencatat bunyi-bunyi selebihnya sebagai fonem tersendiri. Setelah penjelasan dari sub bab 6 ini, penulis juga mecantumkan beberapa soal untuk bahan pendalaman bagi mahasiswa. Ini dilakukan agar lebih menguasai materi sub bab.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab VII : Klasifikasi, Distribusi, Realisasi Fonem Bahasa Indonesia

7.1 Klasifikasi Fonem Bahasa Indonesia

Pengklasifikasian fonem bahasa Indonesia didasarkan pada pola pengklasifikasian bunyi yang biasa dilakukan oleh fonetisi. Dengan demikian, pengklasifikasian bisa memanfaatkan peta bunyi vokoid dan kontoid, namun disini disebut vokal dan konsonan. Berdasrkan hasil penelitian, fonem bahsa Indonesia berjumlah sekitar 6 fonem vocal dan 22 fonem konsonan.

 

7.2 Distribusi Fonem Bahasa Indonesia

Dalam pemakaiannya fonem bahasa Indonesia menyebar ke posisi onset silaba, nuklus silaba, dan koda silaba. Posisi onset dan koda diduduki fonem konsonan, sedangkan posisi nuklus diduduki fonem vocal. Namun dalam praktiknya direlisasikan dalam berbagai variasi bunyi sebagai alofonnya. Berkait dengan distribusi fonem ini, Parera (1983: 38-40) tidaka hanya berfokus pada lingkungan silaba atau suku kata, tetapi juga pada lingkungan tutur kata, morfem, dan unsur suprasegmental. Kemungkinan distribusi fonem yaitu: (1) Distrbusi fonem vocal, (2) Distribusi fonem konsonan, (3) Distribusi fonem Diftong, dan (4) Distribusi fonem Kluster.

 

 7.3 Realisasi Fonem Bahasa Indonesia

Analisis atas realisasi atau alofon fonem bahasa Indonesia juga memperhatikan korpus data dari unsur-unsur serapan yang dipakai oleh penutur bahasa Indonesia. Distribusi setiap alofon, yang ditulis dalam kolom keterangan, sebagian besar didasarkan pada lingkungan silaba atau suku kata.

 

7.4 Fonem dan Grafem Bahasa Indonesia

Pada bahasan ini, penulis memberikan pengertian fonem dan grafem berdasarkan perbedaan, yaitu: pada fonem merujuk pada satuan bunyi terkecil yang membedakan makna. Sedangkan grafem merujuk pada sistem pelambangan bunyi (fonem) yang berbentuk huruf. Grafem atau sistem pelambangan bunyi alih-alih disebut sistem ejaan – ini ada dua macam, yaitu: grafem yang mengikuti sistem fonetis (ejaan fonetis), dan grafem yang mengikuti sistem fonemis (ejaan fonemis). Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD diresmikan tahun 1972) masih dijumpai minimal dua masalah terkait dengan pelambangan fonem, yaitu: (1) satu fonem dilambangkan dua huruf, (2) dua fonem dilambangkan satu huruf.

Kemudian penulis juga menambahkan artikel yang berkaitan dengan ejaan, apa itu EYD? Dan didownload dari internet (22 September 2006). Penulis berharap setelah membaca artikel ini terbentuk adanya diskusi lebih lanjut dengan teman ynga mempunyai atensi terhadapa masalah ejaan ini. Penulis juga memberikan bahan pendalaman bab 7, agar setiap mahasiswa dapat lebih mengerti dan lebih memahami lagi materi yang yang telah diberikan.

 

  1. Laporan Bagian Buku bab VIII : Ciri-Ciri Prosodi atau Supragegmental Dalam Bahasa Indonesia

Pada bagian bab ini, penulis membahas bagaimana “peran” dan “Kiprah” bunyi-bunyi suprasegmental dalam tuturan bahasa Indonesia, yaitu (1) Nada, nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis. Ketidakfonemisan ini tidak berarti nada tidak ada dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. (2) Tekanan, berfungsi membedakan makna  dalam tataran kalimat (sintaksis), tetapi tidak berfungsi membedakan makna dalam tataran kata (leksis). (3) Durasi, durasi atau panjang-pendek ucapan dalam bahasa Indonesia tidak fungsional dalam tataran kata, tetapi fungsional dalam tataran kalimat. (4) Jeda, terjadi di antara dua bentuk linguistic, baik antarkalimat, antarfrase, antarkata, antarmorfem, antarsilaba, maupun antarfonem. (5) Intonasi, sangat berperan dalam pembedaan maksud kalimat.

Pada sub 8 ini, penulis juga memberikan bahan pendalaman, yakni berupa 5 pertanyaan salah satunya pertanyaan mengenai mengapa nada dalam bahasa Indonesia dikatakan tidak fungsional? Serta memberikan contoh konkret dalam pemakaian bahasa Indonesia! Hal ini dilakukan demi meningkatkan kemampuan mahasiswa.

 

  1. Lapoaran Bagian Buku Bab IX : Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia

Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis. Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.

 

8.1 Asimilasi

Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Contoh: (1) Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif. Penulis juga menyertakan contohnya sebagai berikut :

 

  • Kata bahasa Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak’] dengan [k] velar tidak bersuara, dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara. Ketika kedua kata itu digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu tangan’, diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar bersuara karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang mengikutinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa [k] pada [zak’] disesuaikan atau diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga sama-sama bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi regresif.
  • Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.

 

Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /t/. Asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena perubahan dari [k’] ke [g’] dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]), serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada suan hon > [su-atton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon dari fo-nem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga, bunyi [h] merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/.

Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang yang sama.

Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis ‘saya makan ikan’, kata vis – yang biasa diucapkan [vis] – pada kalimat tersebut diucapkan [fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi oleh kata eet [i:t’] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar tidak bersuara. Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup dua fonem yang berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari fonem /v/, dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/.

 

8.2 Disimilasi

Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Penulis menyertakan conoh sebagai berikut :

 

  • Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
  • Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana [sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi [j] yang pertama diubah menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana]. Ka-rena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka perubahan itu disebut disimilasi fonemis.
  • Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan bentuk dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr] mengalami perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka perubahan itu juga disebut disimilasi fonemis.

 

  • Modifikasi Vokal

Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan. Penulis menyertakan contoh sebagai berikut :

 

  • Kata balik diucapkan [balī?], vokal i diucapkan [ī] rendah. Tetapi ketika mendapatkan sufiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [ī] berubah menjadi [i] tinggi: [balikan]. Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya. Pada kata balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah [?], sedangkan pada kata balikan, bunyi yang mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [ī] ke [I] masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga karena perbedaan struktur silaba. Pada bunyi [ī], ia sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i], ia sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li pada ba-li-kan).
  • Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu.

 

Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke vokal yang lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi oleh para linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara itu, perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini biasa disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal.

Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang disebut ablaut (Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan vokal jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur morfologis. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing [sīŋ] ‘menyanyi’ menjadi sang [sєŋ], sung [sαŋ]. Perubahan vokal jenis ini juga bisa disebut modifikasi internal.

 

8.4 Netralisasi

Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal – setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.

Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama? Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusinya).

 

8.5 Zeroisasi

Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya. Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.

Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’ dengan struktur lengkapnya. Misalnya:

shall not     disingkat   shan’t

will not disingkat won’t

– is not disingkat isn’t

are not disingkat aren’t

it is atau it has disingkat it’s.

 

Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop. (1) Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa . (2) Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi, mpulaut menjadi pulau. (3) Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya: baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpatti menjadi upeti.

 

8.6 Metatesis

Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya:kerikil menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari bahasa Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arab arbab.

 

8.7 Diftongisasi

Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenya-ringan sehingga tetap dalam satu silaba.

Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain:

  1. teladan [təladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [ə] menjadi [au]
    topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au]

 

8.9 Monoftongisasi

Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:

kalau [kalau] menjadi [kalo]

danau [danau] menjadi [dano]

satai [satai] menjadi [sate]

damai [damai] menjadi [dame]

 

8.10 Anaptiksis

 Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya:

putra menjadi putera

putri menjadi puteri

bahtra menjadi bahtera

srigala menjadi serigala

sloka menjadi seloka

Akibat penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba. Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silaba baru dengan puncak silaba pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri] menjadi [tə+ri], [sri] menjadi [sə+ri], dan [slo] menjadi [sə+lo].

Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis, dan paragog. (1) Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya:

mpu menjadi empu

mas menjadi emas

tik menjadi ketik

Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya:

kapak menjadi kampak

sajak menjadi sanjak

upama menjadi umpama

Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya:

adi menjadi adik

hulubala menjadi hulubalang

ina menjadi inang

 

3.Komentar

Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) ini dari segi penyajiannya sangat baik karna penulis Masnur Muslich sang pengarang dalam penyajiannya tentang ilmu Fonologi dibuku ini disertai contoh jadi para pembaca yang ingin tahu lebih dalam tentang ilmu Fonologi dapat membaca dan memahami dan mempelajari ilmu Fonologi dengan mudah karna penulis telah menjabarkan serta menjelaskan tentang ilmu Fonologi. Seperti halnya bagian-bagian dari ilmu Fonologi disini penulis telah mengatur secara sistematis dalam penyajiannya seperti mulai dari pengantar, konsep dan definisi (pengertian) sampai dengan penjelasan materi yang disampaikan didalam buku ini sangat jelas dan mudah dimengerti oleh pembaca sehingga pembaca dapat memahami ilmu tentang ilmu Fonologi secara terperinci dan sekaligus dapat langsung melihat contoh-contoh dari masing-masing materi yang dijelaskan sehingga pembacapun dapat membedakan dan mengetahui langsung elemen-elemen terpenting dalam ilmu Fonologi. Seperti halnya sebelum penulis menjelaskan mengenai ilmu Fonologi penulis juga telah memberikan pengarahan kepada pembaca dan sebelum penulis menjelaskan apa-apa saja yang terdapat didalam ilmu Fonologi penulis terlebih dahulu memberi penjelasan tentang ilmu Fonologi ? setelah pembaca mengetahui apa itu ilmu Fonologi barulah penulis memberi tahukan bagian-bagian dari ilmu Fonologi seperti Fonetik; gambaran umum dan fonetik Tahapan. Jadi buku ini sangatlah memberikan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam tentang ilmu Fonologi  jadi pembaca tidak akan rugi jika membaca Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karna buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca agar dapat mengetahui lebih dalam lagi tentang ilmu Fonologi.

Didalam segi isi penulis juga menyusun secara sistematis cara penyajiannya dimana penulis menberikan penjelasan barulah kemudian penulis memberitahukan tentang bagian-bagian dari materi tersebut. Contohnya, seperti Fonetik:gambaran umum dan Fonetik tahapan. Dalam penjelasannya penulis menjelaskan secara terperinci dan secara dalam. Materi tentang Fonetik, pertama kali penulis mengenalkan apa itu Fonetik sebelum penulis menjelaskan lebih jauh lagi materi tentang Fonetik. Kemudian barulah penulis menjelaskan tentang unsur-unsur atau bagian-bagian dari Fonetik, dan barulah kemudian penulis memberikan penjelasan tentang bagian-bagian dari Fonetik. Tujuannya adalah agar pembaca tidak bingung dan bosan dalam membaca atau memahami buku tersebut. Kemudian penulis juga melengkapi buku ini dengan menyediakan tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswanya agar seorang pengajar dapat memahami kemampuan mahasiswanya.  Saya sebagai pembaca menilai buku ini sangat bagus dibaca oleh pembaca khususnya mahasiswa saperti saya ini dimana saya dapat memperdalam ilmu Fonologi saya dengan saya membaca buku karangan Masnur Muslich ini, tetapi saya juga melihat bahwa cover Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) ini kurang menarik, sehingga jika dilihat dari covernya pembaca kurang minat dan kurang tertarik untuk membaca buku ini.

 

Buku Pembanding I

Pembaca juga membaca buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto sebagai bahan perbandingan. Dan diterbitkan oleh UNP Press. Cetakan pertama tahun 2007. Tempat penerbitan buku ini di Padang dan diterbitkan oleh UNP Press. Ketebalan buku ini xxi+148 halaman. Dilihat dari segi penyajiannya buku ini sama dengan buku-buku pada umumnya. Dimana terdapat kata pendahuluan, daftar isi, bab dan subab materi yang akan dijelaskan oleh penulis, kemudian daftar pustaka/rujukan. Dalam buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto ini jika dibandingkan dengan buku karya Masnur Muslich, maka buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto ini juga cukup lengkap. Dimana didalam buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto. Didalam buku ini penulis memberikan penjelasan dimana bab I penulis menjelaskan Objek dan Ruang Lingkup Fonologi, dan kemudian di bab II penulis menjelaskan tentang Mekanisme Pembentukan Bunyi Bahasa, kemudian di bab III barulah penulis menjelaskan tentang Transkripsi Fonetis dan Fonemis, kemudin pada bab IV penulis menjelaskan tentang Klasifikasi Fonem, kemudian pada bab V penulis menjelaskan tentang Fon, Fonem dan Alofon, kemudian pada bab VI penulis menjelaskan tentang Pengujian Fonem, kemudian pada bab VII penulis menjelaskan tetang Fonotaktik Bahasa Indonesia. Kemudian pada bab VIII penulis menjelaskan tentang Morfofonemik Bahasa Indonesia, tetapi dalam penjelasnnya buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto ini kurang la lengkap karena dalam penjelasnnya penulis tidak memberikan contoh maupun kegiatan atau tugas untuk mahasiswanya. Maka dari itu pengajar haruslah faham dan mengrti benar jika ingin memberikan tugas kepada mahasiswanya. Penulis bukannya tidak memberikan contoh dalam menjelaskan setiap materi tetapi penulis juga tidak memberikan pengetahuan atau penjelasan yang lebih terperinci dan setiap materinya. Contohnya saja dalam materi Mekanisme Pembentukan Bunyi Bahasa penulis tidak memberikan contoh sebagai tambahan pemahaman mahasiswa da penulis juga idak memberikan soal ataupun pertanyaan sebagai tolak ukur pemahaman mahasiswa atau sebagai uji kompetensi. Tetapi buku ini juga sangat bagus dibaca oleh mahasiswa seperti saya agar dapat memahami dan mengetahui ilmu Fonologi agar lebih luas lagi.

 

Buku Pembanding II

Pembaca juga membaca buku tentang Linguistik Umum yang didalamnya ada pembahasan tentang Fonologi, buku Linguistik Umum ini dikarang oleh Abdul Chaer. Penerbit buku ini adalah Rineka Cipta yang merupakan Anggota IKAPI. Cetakan pertama pada tahun 2012. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang  All Right Reserved. Tempat penerbitan buku ini di padang dan diterbitkan oleh Rineka Cipta. Tebal buku ini 386 halaman. Dari cara penyajiannya buku ini sama saja dengan buku-buku yang lain dimana terdapat kata pengantar penulis, daftar isi, bab dan subab materi yang akan dijelaskan, kemudian daftar pustaka/rujukan. Didalam buku “Linguistik Umum” karya Abdul Chaer ini, jika saya (pembaca) bandingkan dengan buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich. Maka buku  “Linguistik Umum” karya Abdul Chaer ini masih jauh dan kurang lengkap materi maupun pembahasannya. Buku Linguitik Umum ini hanya membahas Fonologi secara umum saja semua materi yang diberikan kurang terperinci dalam bidang ilmu Fonologi. Walaupun dalam buku ini materi maupun penjelasannya kurang lengkap tetapi dalam buku ini pengarang menyertakan tugas dan pertanyaan sebagai uji kompetensi dalam pemahaman materi mahasiswa setelah membaca buku ini. Tetapi buku ini juga sangat bagus dibaca oleh mahasiswa seperti saya agar dapat memahami dan mengetahui ilmu Fonologi agar lebih luas lagi.

Buku Pembanding III

Pembaca juga membaca buku tentang  Asas-Asas Linguistik Umum yang didalamnya ada pembahasan tentang Fonologi, buku Asasa-Asas Linguistik Umum ini dikarang oleh J.W.M Verhaar. Penerbit buku ini adalah Gadjah Mada Uniersity Press yang merupakan Anggota IKAPI. Cetakan pertama pada tahun 1996, cetakan kedua pada tahun 1999, cetakan ketiga pada tahun2001, cetakan keempat pada tahun 2004, cetakan kelima pada tahun 2006, cetakan keenam pada tahun 2008. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang  All Right Reserved. Tempat penerbitan buku ini di Yogyakarta dan diterbitkan oleh Gadjah Mada Uniersity Press. Tebal buku ini 412 halaman. Dari cara penyajiannya buku ini sama saja dengan buku-buku yang lain dimana terdapat kata pengantar penulis, daftar isi, bab dan subab materi yang akan dijelaskan, kemudian daftar pustaka/rujukan. Didalam buku “Asas-Asas Linguistik Umum” karya J.W.M Verhaar ini, jika saya (pembaca) bandingkan dengan buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich. Maka buku “Asas-Asas Linguistik Umum” karya J.W.M Verhaar ini masih jauh dan kurang lengkap materi maupun pembahasannya. Buku Asas-Asas Linguitik Umum ini hanya membahas Fonologi secara umum saja semua materi yang diberikan kurang terperinci dalam bidang ilmu Fonologi. Walaupun dalam buku ini materi maupun penjelasannya kurang lengkap tetapi dalam buku ini pengarang menyertakan tugas dan pertanyaan sebagai uji kompetensi dalam pemahaman materi mahasiswa setelah membaca buku ini. Tetapi buku ini juga sangat bagus dibaca oleh mahasiswa seperti saya agar dapat memahami dan mengetahui ilmu Fonologi agar lebih luas lagi. Dalam pembahasannya buku ini juga tidak membosankan pembaca seperti saya ini. Cover buku ini juga menarik perhatian pembaca agar lebih ingin tahu lagi tentang apa saja isi materi yang ada di dalam buku ini.

 

 

 

Dari keempat buku diatas “Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich. Serta buku “Fonologi Bahasa Indonesia” karya Amril dan Ermanto dan “Linguistik Umum” karya Abdul Chaer dan yang terakhir buku “Asas-Asas Linguistik Umum” karya J.W.M. Verhaar ini sangat baik dibaca dan bermanfaat untuk lebih mendalami ilmu Fonologi apa lagi mahasiswa pada jurusan Bahasa Indonesia seperti saya, maka akan banyak sekali manfaat yang akan diperoleh.

 

 

Penutup

“Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich ini sangat bagus dibaca oleh kalangan pengajar dan peserta didik seperti kalangan guru, dosen dan mahasiswa FKIP (fakultas keguruan dan ilmu pendidikan) dari progam studi mana saja. Yang lebih khusus yaitu mahasiswa atau dosen/guru Bahasa Indonesia. Banyak manfaat dan ilmu yang didapat dengan membaca buku ini kemudian pengajar juga dapat lebih mendalami dan mempraktekkan dengan baik kepada mahasiswanya dalam proses belajar mengajar. Begitu pula manfaat dan ilmu pengetahuan yang akan didapat bagi mahasiswa, tentu saja mahasiswa akan lebih banyak mengetahui  apa itu tentang ilmu Fonologi dan tentang kajian-kajian materinya seperti Fonetik, Fonem dan alat-alat ucap yang berkerja disaat bunyi itu dihasilkan. Dengan membaca buku ini maka kita dapat mengetahui. Dan mahasiswa dapat mamperdalam ilmu Fonologinya. Buku ini juga bermanfaat bagi khalayak umum. Buku ini sangat bagus dibaca oleh setiap kalangan. Apalagi jika seseorang telah mempunyai dasar ilmu Fonologi. Banyak ilmu yang didapat dan ditimba dari buku ini. Dan buku ini sangat bagus karena isi didalamnya sangat bermanfaat bagi pembaca dalam proses pembelajaran dan lebih mendalami ilmu Fonologinya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Muslich Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Amril dan Ermanto. 2007. Fonologi Bahasa Indonesia. Padang. UNP Press.

Chaer Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.

J.W.M Verhaar. 2008. Asas-Asaa Linguistik Umum. Yogyakarta. Gadjah Mada Unniversity Press.

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                   

LAPORAN BACAAN

FONOLOGI BAHASA INDONESIA (TINJAUAN DESKRIPTIF SISTEM BUNYI BAHASA INDONESIA)

Mata Kuliah : Fonologi Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Susilawati, S.Pd

Disusun Oleh : Desi Erawati

NPM : 13020211010

Kelas : Reguler (B)

Semester : Dua (2)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) YPM BANGKO TAHUN 2014

 

IDENTITAS BUKU

Buku Utama

Judul buku:  Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia)

Penulis             : Masnur Muslich

Penerbit           : Bumi Aksara

Cetakan           : Mei 2008

Tebal Buku       : x+ 189 halaman

Buku Pembanding I

Judul Buku : Fonologi Bahasa Indonesia

Penulis        : Amril dan Ermanto

Penerbit       : UNP Press

Cetakan      : 2007

Tebal Buku  : x+ 148 halaman

Buku Pembanding II

Judul Buku : Linguistik Umum

Penulis        : Abdul Chaer

Penerbit       : Rineka Cipta

Cetakan      : 2012

Tebal Buku  : x+ 386 halaman

 

 

Buku Pembanding III

Judul Buku : Asas-Asas Linguistik Umum

Penulis        : J.W.M Verhaar

Penerbit       : Gadjah Mada University Press

Cetakan      : April 2008

Tebal Buku  : x+ 412 halaman

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan bacaan buku yang berjudul “Fonologi Bahasa Indonesia“ ini dengan lancar.

Penulisan laporan bacaan  ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen.  Laporan bacaan ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan materi.

Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar, atas bimbingan dan arahan dalam penyusunan  laporan bacaan  ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini. Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai  “Fonologi Bahasa Indonesia” khususnya bagi penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan laporan bacaan buku “Fonologi Bahasa Indonesia” ini memanag masih jauh dari sempurna, untuk itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang dimaksudkan untuk penyempurnaan laporan bacaan  ini.

 

Bangko, Juni 2014

 

Penulis

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………………..  i

IDENTITAS BUKU ……………………………………………………………………………  2

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………  4

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………..  5

  1. pendahuluan ………………………………………………………………………  7
  2. Laporan Bagian Buku ………………………………………………………….. 9
  3. Laporan Bagian Buku Bab I : PENDAHULUAN………… 9
  4. Laporan Bagian Buku Bab 2 : FONETIK: GAMBARAN UMUM 11
  5. Laporan Bagian Buku Bab 3 : FONETIK: TAHAPAN KOMUNIKASI, PROSES PEMBENTUKAN, TRANSKRIPSI FONETIS…………… 14
  6. Laporan Bagian Buku Bab 4 : KLASIFIKASI BUNYI SEGMENTAL DAN DESKRIPSI BUNYI SEGMENTAL BAHASA INDONESIA……….. 18
  7. Laporan Bagian Buku Bab 5 : KLASIFIKASI BUNYI SUPRASEGMENTAL, BUNYI PENGIRING, DIFTONG, KLUSTER, SILABA………… 22
  8. Laporan Bagian Buku Bab 6 : FONEMIK: FONEM, DASAR, PROSEDUR ANALISIS……………………………………………………………………………….. 25
  9. Laporan Bagian Buku Bab 7 : KLASIFIKASI, DISTRIBUSI, REALISASI FONEM BAHASA INDONESIA…………………………………………… 26
  10. Laporan Bagia Buku Bab 8 : CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA…………………………….. 27
  11. Laporan Bagian Buku Bab 9 : PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA……………………………………………………………………………….. 28

 

  1. Komentar …………………………………………………………………………… 36

Buku Pembanding I…………………………………………………………………… 38

Buku Pembanding II…………………………………………………………………. 39

Buku Pembanding III ………………………………………………………………..  40

Penutup ……………………………………………………………………………………  41

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….  42

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAPORAN BACAAN

(Book Report)

  1. Pendahuluan

Penulis melaporkan buku yang berjudul “Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia)”. Buku ini dikarang oleh Masnur Muslich. Penerbit buku ini adalah Bumi Aksara. Buku ini diterbitkan pada tahun cetakan pertama, mei 2008, cetakan kedua juli 2009, cetakan ketiga april 2010. Hak Cipta Dilindungi Undang-undang (All Rights reserved). Tempat penerbitan buku ini di Jl. Sawo Raya No. 18, Jakarta.

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) buku ini:

Penulis : Masnur Muslich

Editor : Fatna Yustianti

Desainer : Kreasindo Mediacita

Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia).

Jakarta  :  Bumi Aksara

ISBN (13) : 978-979-010-426-6

ISBN (10) : 979-010-426-X

Tebal buku ini 189 halaman termasuk halaman daftar isi, halaman kata pengantar. Garis besar isi buku dimulai dari Bab 1 Pendahuluan pada halaman 1-6. Daftar isi memuat sembilan  Bab.

Penulis membuat garis besar dari buku yang dilaporkan mulai dari bagian buku Bab I Pendahuluan kearah “Fonologi dan Bidang Pembahasannya pada halaman 1, Kedudukan Fonologi dalam Cabang-Cabang Linguistik pada halaman 1-5, dan Manfaat Fonologi Dalam Penyusunan Ejaan Bahasa Bahan Pendalaman pada halaman 5-6.

Laporan bagian buku pada Bab II membahas tentang “Fonetik : Gambaran Umum“ yang meliputi pengantar, Fonetik dan Bidang Kajiannya, Ketidaklancaran Berujar yang Terkait dengan Kajian Fonetik, Kondisi Kajian Fonetik, Beberapa Tokoh Fonetik: Pandangan dan Kajiannya, Skop (bidang cakupan) Tujgas dan Tanggung Jawab Fonetisi dihalaman 7-24. Dan Bahan Pendalaman pada halaman 25.

Laporan bagian buku pada Bab III halaman 26-42 pengarang mengkaji tentang “Fonetik: Tahapan Komunikasi, Proses Pembentukan, Transkipsi Fonetis” yang meliputi tentang Tahapan Komunikasi, Proses Pembentukan Bunyi, dan Transkipsi Fonetis. Dan Bahan Pendalaman pada halaman 45.

Laporan bagian buku dalam Bab IV pengarang mengkaji tentang “Klasifikasi Bunyi Segmental dan Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia” yang meliputi Dasar Klasifikasi Bunyi Segmental, Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia. Pada halaman 46-58 serta Bahan Pendalaman pad halaman 60.

Laporan bagian buku pada Bab V dihalaman 61-73 pengarang mengkaji tentang “Klasifikasi Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster, Silaba” yang meliputi Tentang Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong dan Kluster, Silaba (suku kata). Serta Bahan Pendalaman pada halaman 76.

Laporan bagian buku pada Bab VI pengarang mengkaji tentang “Fonemik: Fonem, Dasar, Prosedur, Analisis” yang Meliputi tentang Definisi Fonem dan Jenisnya, Dasar-Dasar Analisis Fonem, dan Prosedur Analisis Fonem dibahas pada halaman 77-84. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 93.

Laporan bagian buku pada Bab VII pengarang mengkaji tentang “Klasifikasi, Distribusi, Realisasi Fonem Bahasa Indonesia” adapun yang pembahasannya meliputi Klasifikasi Fonem Bahasa Indonesia, Dristibusi Bahasa Indonesia, Realisasi Fonem Bahasa Indonesia, dan Fonem dan Grafem Bahasa Indonesia yang dibahas pada halaman 94-104. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 111.

Laporan bagian buku pada Bab VIII pengarang mengkaji tentang “Ciri-Ciri Prosodi atau Suprasegmental Dalam Bahasa Indonesia” adapun pembahasannya meliputi tentang Nada, Tekanan, Durasi, Jeda, Intonasi. Yang dibahas pada halaman 112-115. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 117.

Laporan bagian buku pada Bab IX pengarang mengkaji tentang “Perubahan Bunyi Dalam Bahasa Indonesia” pembahasannya meliputi Asimilasi, Disimilasi, Modifikasi Vokal, Netralisasi, Zeroisasi, Metatesis, Diftongisasi, Monoftongisasi, dan Anaptiksis, yang dibahas pada halaman 118-126. Serta Bahan Pendalaman pada halaman 128.

Laporan bagian uku pada halaman 129 terdapat Daftar Pustaka, serta Lampiran I tentang Ejaan Dalam Naskah Dinas pada halaman 135. Lampiran II tentang Persolan di sekitar Bentuk Ucapan Baku Bahasa Indonesia, pada halaman 163. Dan Lampiran III tentang Rencana Perkuliahan Semester (RPS) pada halaman 182. Serta Profil penulis pada halaman 187.

 

  1. Laporan Bagian Buku
  2. Laporan Bagian Buku Bab I Pendahuluan
    • Fonologi dan Bidang Pembahasannya

Pada tahap awal penulis menerangkan bahwa bahasa adalah sistem bunyi ujar yang sudah didasri oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam betuk bunyi ujar. Meskipun dalam praktik berbahasa  dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebaai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik. Bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik. Bunyi-bunyi ujar juga dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Pengarang menjelaskan bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari stuktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.

 

  • Kedudukan Fonologi Dalam Cabang-Cabang Linguistik

Pengarang menjelaskan bahwa fonologi sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain baik linguistik terotis maupun terapan. Sebut saja seperti morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan pisikolinguistik. Adapun dalam bidang morfologi yang analisisnya berkosentrasi pada tataran stuktur internal kata (mulai dari prilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Pengarang juga menjelaskan manfaat fonologi dalam bidang sintaksis yang analisisnya berkosentrasi pada tataran kalimat tentang intonasi, begitu juga persoalan jeda dan tekanan pada kalimat. Didalam bidang ilmu semantik penulis menjelaskan bahwa analisisnya berkosentrasi pada persoalan makna kata sebagai contoh kata tahu dan kata tau jika diucapkan  secara bervariasi akan bermakna lain. Didalam bidang ilmu leksikologi dan juga leksokografi penegarang menjelaskan bahwa analisisnya pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak , sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Pengarang juga menjelaskan pada bidang dialektologi, yang bermaksud menekankan “wilayah” pemakian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakian bahasa, baik secara sosial maupun geografis.

 

1.3 Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Ejaan Bahasa

Pada sub bab ini penulis menerangkan bahwa tata cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) biasanya memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang brsangkutan.sebagai contoh ejaan bahasa indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa indonesia. Terutama yang berkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis. Kita tahu bahwa ejaan tumbuh beratus-ratus tahun bahkan beribu-ribu tahunsetelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tubuh dan berkembangdengan sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa, bukan sebaliknya. Jadi, tidaklah ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan) harus mengikuti dan tunduk pada ejaan (bahasa tulis.

 

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab II Fonetik Gambaran Umum
    • Pengantar Fonetik Gambaran Umum

Pengarang pada bab ini menjelaskan bahwa fonetik merupakan bidang kajian ilmu pengetahuan yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombag-gelombang bunyi bahasa yang dikelurakan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia. Pengrang juga memberikan gambaran secara umum tentang pembagian fonetik, dimna fonetik dibagi menjadi tiga bidang kajian, yaitu fonetik fisiologis, fonetik akustis, dan gonetik auditoris atau fonetik persepsi (Dew dan Jensen, 1977:19).

Pada bab ini pengarang menjelaskan bahwa fonetik fisiologis adalah bidang fonetik yang mengkaji tentang penghasilan bunyi-bunyi bahasa berdasrkan fungsi mekanisme biologis organ tutur manusia. Istilah fonetik fisiologis ini jarang dipakai, yang sering digunakan adalah fonetik artikulatoris. Sedangkan yang dimaksud dengan fonetik akustik  yaitu yang kajiannya bertumpu pada stuktur fisik bunyi-bunyi bahasa dan bagaimana alat pendengaran manusia memberikan reaksi kepada bunyi-bunyi bahasa yang diterima (Malmberg, 1963: 1) ada tiga ciri utama yang dijabarkan penulis yaitu frekuensi, tempo, dan kenyaringan. Alat-alat yang digunakan untuk mengkaji gelombang bunyi bahasa dan mengukur pergerakan udara antara lain, spektograf (alat unuk menganalisis dan memamparkan frekuensi dan tekanan, oscilloskop (alat untuk memamparkan ciri-ciri kenyaringan bunyi) (Lihat Painter, 1979). Adpun yang terakhir yaitu fonetik auditoris atau fonetik persepsi adapun yang diaksud dengan fonetik ini adalah fonetik yang mengarahkan kajiannya pada persoalan bagaimana manusia menentukan plihan bunyi-bunyi yang diterima alat pendengarannya. Dengan kata lain, kajiann ini meneliti bagaimana seseorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang diterimanya sebagai bunyi-bunyi yang perlu diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa bermakna, dan apakah ciri-ciri bunyi bahasa yang dianggap penting oleh pendengar dalam usahanya untuk membeda-bedakan setiap bunyi yang ia dengar (Singh, 176: 5).

 

  • Ketidaklancaran Berujar yang Terkait dengan Kajian Fonetik

Pada sub bab ini pengarang menjelaskan bahwa pada umumnya, penutur yang mempunyai masalah ketidaklancaran berujar ini akan sukar atau tidak langsung merespon sewajarnya atau keadaan lain yang tidak diharapkan dalm suatu percakapan. Masalah ketidaklancaran berujar ini dapat dilihat dari segi atau keadaan kelemahan organ penuturnya, keadaan suara (terutama dari segi nada dan kenyaringan), dan kelancaran beruajar (Thomas dan Carmack, 1990: 2). Permasalahan ini dapat disebabkan oleh kegagapan (stuttering), kelumpuhan saraf otak (cerebral polsied), afasia (apasia), disleksia (dyslexia), disatria (disathria), dan lain-lain.

 

  • Kondisi Kajian Fonetik

Didalam sub bab ini pengarang membedakan kondisi kajian fonetik menjadi dua yaitu kajian fonetik barat dimana kajian ini merupakan kajian linguistik yang dilakukan dengan cara scientific atau ilmiah. Berbagai alat pemeriksaan, penyelidikan dan percobaan diadakan. Selama ini kajian fonetik ilmiah belum berkembang dengan baik. Hasil kajian hanya memberikan penjelasan kepada kita mengenai bagaimana gerakan alat-alat bicara dan hasil-hasil yang diperolehnya. Penjelasan-penjelasan ini belum sampai kepada kegunaan praktis dalam kehidupan berbahasa sehari-hari termasuk misalnya, bagaimana menangani penutur yang mempunyai cacat bicara.

Adapun yang kedua yaitu sejarah perkembangan kajian fonetik dimana pengkajian fonetik ditangani secara serius sejak terbentuknya International Phonetic Assosiation (IPA) pada tahun 1886 di Barat, walaupun buku-buku yang dibicarakan bunyi bahasa telah terbit sejak tahun 1569. Lambang-lambang fonetik telah dibuat oleh asosiasi ini. Huruf-huruf ini terdiri dari huruf latin yang ditambah dengan beberapa hurup ayn diciptakan, dan beberapa tanda diakritik. Yang berusaha (dan dipercaya oleh IPA) untuk menyusun huruf-huruf ini adlah Ellis, Sweet, Passy, dan Daniel Jones. Huruf-huruf ini sesuia sekali dengan harapan fonetisi pada umumnya karena tiap-tiap huruf melambnagkan bunyi.

 

  • Beberapa Tokoh Ilmu Fonetik: Pandangan dan Kajiaannya

Di dalam sub bab ini pengarang menyebutkan beberapa tokoh ilmu fonetik diantaranya yaitu Bertill Malmbreg (1968), seorang fonetisi Prancis, mendefinisikan fonetik sebagai pengkajian bunyi-bunyi bahasa. Fonetik ialah pengkajian yang lebih menitik beratkan pada ekspresi bahasa, bukan isinya. Yang dipentingkan adalah bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan penutur, bukan makna yang ingin disampaikan.

Adapun yang kedua yaitu J.D. O’Connor menurutnya fonetik adalah ilmu yang bersangkut paut dengan bunyi-bunyi ujar yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi-bunyi yang dapat didengar ini kemudian diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang terdapat dalam bahasa masyarakat yang bersangkutan. Seterusnya, formula bunyi-bunyi ujar ini diberi “fungsi” tertentu sehingga dapat dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.

Kemudian yang ketiga yaitu David Abercrombi ia berpendapat bahwa fonetik adalahilmu yang bersifat teknis. Dalm ilmu ini, suatu bahasa akan dilihat secara analitis, yaitu tidak saja mendengar percakapan, tetapi juga menyadari setiap gerak jasmani yang melatar belakanginya. Sewaktu kita bernapas, misalnya, udara tidak dikeluarkan terus menerus. Aliran udara tidak berkelanjutan. Otot pernapasan tegang dan kendur berulang-ulang selama dalam satu pernapasan yang panjang. Ternyata, setiap ketegangan dan hembusan yang dihasilkan merupakan suku kata (syllable). Satu suku kata bersamaan dengan satu gerakan tegang dan kendur ini. Satu suku kata bersamaan dengan gerakan ujaran. Irama napas/dada begitu teratur dan sistematis sehingga bisa disebut sebagai nada. Satu detik memuat lima suku kata. Kenyataan ini merupakan landasa bagi semua bunyi bahasa.

Abercrombie juga berpendapat bahwa prilaku ujaran sangat kompleks karena selain gerakan paru-paru juga da gerakan lidah, gigi, langit-langit lembut dan langit-langit keras yang terus menerus. Kalau kita berusaha memecah ujaran, semata-mata hanya untuk kepentingan analisis bunyi bahasa tersebut. Ujaran inilah nantinya dijadikan unsur-unsur dasar segmental (peruasan bunyi).

  • Skop (bidang cakupan), Tugas dan Tanggung Jawab Fonitisi

Disini pengarang menjelaskan bahwa fonitis lebih berminat untuk melihat bagaimana pergerakan udara dihubungkan dengan pergerakan organ-organ penutur dan koordinasi semua pergerakan ini sehinga menghasilakn bunyi. Fonetis juga berminat bagaimana arus udara bergetar antara mulut penutur dan telinga pendengar. Bidang fonetik ini berkaitan dengan bidang ilmu fisika yang mengkaji masalah akustik. Skop fonetis juga melibatkan minat dalam proses pendengaran. Ilmu ini sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan peranan fisiologi telinga atau aktivitas indra antara telinga dan otak, tetapi lebih pada kepekaan pendengaran.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab III Fonetik: Tahapan Komunikasi, Proses Pembentukan, Transkipsi Fonetis
    • Tahapan Komunikasi

Pada bab ini pengarang menjelaskan bahwa kegiatan komunikasi lisan dimulai dari otak pembicara. Dengan memanfaatkan fungsi kreatif otak, O1 menemukan atau mempunyai gagasan ide (ide) yang akan disampaikan kepada O2. O1 memilih kata, frase, atau ungkapan yang dapat mewakili gagasan tersebut, lalu menyusunnya dalam bentuk kalimat yang sesuai dengan sistem bahasa yang dipakainya. Tahap pemilihan unsur kebahasaan yang sesuai dengan ide disebut tahap linguistik. Setelah gagasan tersusun dalam otak, kemudian otak mengaktifkan saraf motoris dan mengirimkan perintah dalam bentuk rangsangan-rangsangan ke otot-otot alat ucap. Atas perintah ini, alat ucap mengadakan gerakan-gerakan sedemikian rupa sehingga memunculkan perubahan tekanan udara di sekeliling yang berpotensi menimbulkan fonasi. Fungsi transmisi otak ini berada pada tahap fisiologis. Perubahan tekanan udara yang diakibatkan oleh gerakan alat ucap tadi, menimbulkan gelombang bunyi yan merambat keluar dari alat ucap O1 oleh hantaran udara menuju ke alat pendengar O2. Posisi gelombang buyni yang berada antara alat ucap O1 dan alat dengar O2 ini disebut tahap akustis.

Berdasrkan skema dan penjelasan tersebut bisa kita ketahui bahwa yang menjadi cakupan fonetik adalh tahap fisilogis (yaitu ketika O1 memproduksi bunyi), tahap akustis (yaitu ketika gelombang bunyi bergerak dari alat ucap O1 menuju ke alat dengar O2), dan tahap fisiologis (yaitu ketika gelombang bunyi didengar oleh alat dengar O2 sebagai bunyi). Tahap linguistik pada O1 dan O2 tidak termasuk dalam bahasan fonetik karena sudah menyangkut neurologi (khusnya neuorolinguistik).

 

  • Proses Pembentukan Bunyi

Pada tahap ini pengarang menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan bunyi bahasa  terdapan sarana utama yang berperan yaitu adalah (1) arus udara, (2) pita suara, (3) alat ucap. Ketika sarana ini juga yang oleh fonitisi dipakai sebagai dasar pengklasifikasian bunyi. Adapun ayng pertama yaitu arus udara. Arus udara menjadi sumber energi utama pembentukan bunyi bahasa merupakan hasil kerja alat atau organ tubuh yang dikendalikan oleh otot-otot tertentu atas perintah saraf oatak. Dengan demikian, arus udara ini tidak muncul dengan sendirinya. Tetapi diciptakan atas perintah saraf-saraf otak tertentu. Apakah arus udara menuju ke luar dari paru-paru (arus udara egresif), atau arus udara menuju paru-paru (arus udara ingresif).

Adapun yang kedua yaitu pita suara.  Pita suara merupakan sumber bunyi. Ia bergetar atau digetarkan ole udara yang keluar atau masuk paru-paru. Pita suara terletak dalam kerogkongan (larynx) dalm posisi mendampar dari muka (anterior) kebelakang (posterior). Bergetarnya pita suara dengan cara membuka dan menutup. Lubang pada saat pita suara itu membuka disebut glotis. Membukanya dari muka menuju kebelakang. Kadang-kadang membukanya tidak sampai ke belakang betul. Menutupnya pun mulai dari muka. Banyak gelombang perdetik disebut frekuensi bunyi. Dengan demikian, suatu bunyi yang diucapkan orang berfrekuensi 141 gelombang per detik, berarti pita suara membuka menutup sebanyak 141 kali per detik. Tenggorokan yang terletak diatas pita suara, rongga mulut, dan rongga hidung, berperan sebagai resonator atau peninggi bunyi yang diciptakan oleh pita suara.

Yang ketiga yaitu alat-alat ucap disini alat ucap mempunyai fungsi utama untuk kelangsungan hidup kita. Paru-paru mempunyai fungsi utama menghisap zat pembakaran untuk disalurkan kedalam darah dan menyalurkan zat asam arang ke luar tubuh. Pita suara mempunyai fungsi utama menjaga agar tidak ada benda-benda apapun yang masuk kesaluran pernapasan. Lidah mempunyai fungsi utama memindahkan makanan yang akan atau sedang dikunyah dan merasakan makanan yang kan ditelan. Gigi mempunyai fungsi utama melumatkan makanan yang akan masuk ke perut sehinga memudahkan kerja pencernaan.

Pengarang menjelaskan bahwa organ-organ tubuh yang dipergunakan sebagai alat ucap dapat dibagi menjadi tiga komponen yaitu (1) komponen supraglotal, (2) kompenen laring, (3) kompenen Subraglotal. Adapun komponen  supraglotal ini terdiri dari tiga ronnga yang berfungsi sebagai lubang resonansi dalam pembentukan bunyi, yaitu rongga kerongkongan (faring), rongga hidung dan rongga mulut. rongga kerongkongan yang terletak diatas laring ini merupakan tabung dan di bagian atasnya bercabang dua, yang berwujud ronnga mulut dan rongga hidung. Rongga hidung mempunyai bentuk dan dimensi yang relatif tetap tetapi dalm kaitannya dengan pembentukan bunyi mempunyai fungsi sebagai tabung resonansi. Peran ini terjadi ketika arus udara dari paru-paru mengalami getaran sewaktu melalui pita suara, dan getaran itu  menggetarkan udara yang ada dalam rongga kerongkongan, rongga mulut, dan rongga hidung. Rongga mulut merupakan organ ayng paling penting diantara ketiga rongga yang ada supraglotal. Selain dimensi dan bentuknya sangat bervariasi, bunyi-bunyi ujar yang dihasilakan dari rongga mulut ini sangat banyak dan bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena keterlibatan lidah, bibir, dan juga rahang yang mudah digerakkan. Bagian-bagian alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut yang bisa digerakkan desebut artikulator, dan bagian-bagian alat ucap yang menjadi sasaran sentuh disebut titik artikulasi.

Kemudian yang kedua yaitu kompnen laring atau tenggorokkan ini merupakan koatk yang terbentuk tulang rawan berbentuk lingkaran. Didalamnya terdapt pita suara. Laring dengan kerja pita suara inilah yang berfungsi sebagai klep yang mengatur arus udara antara paru-paru, mulut, dan hidung. pita suara yang denagn kelenturannya bisa membuka dan menutup ini bias memisahkan dan sekaligus menggabungkan antara udara yang ada pada paru-paru dan yang ada pada mulut dan hidung. apabila dibuka lebar-lebar udara yang ada pada paru-paru bisa berhubungan dengan udara yang ada pada mulut dan hidung. kinerja pita suara dilaringlah yang mengakibatkan penggolongan bunyi bahasa menjadi bunyi bersuara (hidup) dan bunyi tidak bersuara (mati).

Dan yang terakhir yaitu komponen subglotal ini terdiri atas paru-paru kiri dan kanan, saluran bronkial, dan saluran pernapasan (trakea). Fungsi utama komponen ini adalah untuk pernapasan, yaitu mengalirkan udara. Proses penggaliaran udara yang berganti-ganti arah (kedalam dan keluar) ini disebabkan oleh berkembang kempisnya kedua paru-paru yang berrongga. Perlu juga diperhatikan bahwa proses penghasilan bunyi-bunyi bahasa berlangsung secara kontinum atau terus menerus. Demi kepentingan analisis bunyi, arus bunyi ayng kontinum itu di penggal-penggal, diruas-ruaskan atau disegmen-segmenkan sampai terwujud segmen bunyi yang paling kecil. Arus bunyi ayng bisa diruas-ruskan disebut bunyi segmental. Dan sebaliknya, arus bunyi ayng tidak bisa diruas-ruaskan disebut  non-segmental atau suprasegmental.

 

  • Transkripsi Fonetis

Disini pengarang menjelaskan bahwa traskipsi fonetis adalah rekaman bunyi dalam bentuk lambang tulis. Lambang bunyi atau lambang fonetis  yang sering dipakai adalah lambang bunyi ayng diterapkan oleh The International Phoetic Asosiation (IPA). Yaitu persatuan para guru bahasa yang berdiri sejak akhir abad ke-19, ayng didirikan untuk mempoulerkan metode baru dalam pengajaran bahasa yang lebih menekan pada penggajaran bahasa lisan. Dalam melakukan modifikasi bentuk huruf selalu diusahakan agar bunyi-bunyi yang banyak persamaannya diberi lambang atau bentuk dasar yang sama. Perbedaanya hanyalah penambahan diakritik saja. Disini juga pengarang menyertakan lambang-lambang fonetik IPA yang diperkirakan terdapat dalam bahasa Indonesia.

  1. Laporan Bagian Buku Bab IV Klasifikasi Bunyi Segmental dan Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia

4.1 Dasar Klasifikasi Bunyi Segmental

Pada bab ini pengarang menjelaskan bahwa klasifikasi bunyi segmental didasarkan berbagai macam kreteria, yaitu (1) ada tidaknya gannguan, (2) mekanisme udara, (3) arah udara, (4) pita suara, (5) lubang lewatan udara, (6) mekanisme artikulasi, (7) cara gangguan, (8) maju mundurnya lidah, (9) tinggu rendahnya lidah, (10) bentuk bibir.

Ada tidaknya gangguan disini adalah penyempitan atau penutupan yang dilakukan oleh alat-alat ucap atas arus udara dalam pembentukan bunyi. Dilihat dari ada tidaknya ganguan ketika bunyi diucapkan. Bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bunyi vokoid, dan bunyi kontoid. Dimana bunyi vokoid, yaitu bunyi yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi vokoid ini lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan  dengan bunyi-bunyi kontoid. Sedangkan bunyi kontoid yaitu bunyi yang dihasilakn dengan melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi kontoid ini lebih banyak dibandingkan bunyi vokoid, seiring dengan banyaknya jenis artikulator yang terlibat dalam upaya penyempitan atau penuturan ketika bunyi itu diucapkan.

Kemudian pengarang juga membahas tentang mekanisme udara yang dimaksud mekanisme udara yaitu darimana datangnya udara yang menggerakkan pita suara sebagai sumber bunyi. Dilihat dari kreteria ini, bunyi-bunyi bahasa bisa dihasilkan dari tiga kemungkinan mekanisme udara, yaitu (1) mekanisme udara pulnomis yaitu udara yang datang dari paru-paru menuju keluar, (2) mekanisme udara laringal atau faringal yaitu udara yang datang dari laring atau faring, (3) mekanisme udara oral yaitu udara yang datang dari mulut.

Kemudian pengarang juga menjelaskan tentang arah udara, dilihat dari arah udara ketika buny dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, bunyi egresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara menuju keluar melalui rongga mulut atau rongga hidung. yang kedua yaitu bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara masuk kedalam paru-paru.

Selanjutnya yaitu pita suara, dilihat dari bergetar tidaknya pita suara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu satu, bunyi mati atau bunyi tak bersuara yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara tidak melakukan gerakkan membuka menutup sehingga getarannya tidak signifikan. Misalnya bunyi [k], [p], [t], [s]. Kedua yaitu bunyi hidup atau bunyi bersuara, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara melakukan gerakan membuka dan menutup secara cepat sehingga bergetar secara signifikan. Misalnya bunyi, [g], [b], [d], [z].

Selanjutnya pengarang menjelaskan tentang lubang lewatan udara, dilihat dari  lewatan udara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga. Yang pertama yaitu, bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut, dengan menutup velik pada dinding faring. Yang kedua yaitu bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga hidung, dengan menutup rongga mulut dan membuka velik lebar-lebar, [ m ] merupakan bunyi nasal.  Yang ketiga yaitu bunyi sengau, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut dan rongga hidung, dengan membuka velik sedikit. Bunyi “bindeng” (istilah jawa).

Selanjutnya pengarang menjelaskan tentang mekanisme artikulasi adalah alat ucap mana yang bekerja atau bergerak ketika menghasilkan bunyi bahasa. Yang pertama yaitu, Bunyi bilabial, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan bibir (labium) atas. Caranya bibir bawah (sebagai artikulator) menyentuh bibir atas (sebagai titik artikulasi). Misalnya bunyi  [p], [b], [m], dan [w]. Kemudian Bunyi labio-dental, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium)bawah dan gigi (dentum) atas. Caranya bibir bawah (sebagai artikulator) menyentuh gigi atas (sebagai titik artikulasi).  Misalnya [f], dan [v]. Kemudian Bunyi apiko-denta, yaitu buny yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gigi (dentum) atas. Caranya ujung lidah (sebagai artikulator) menyentuh gigi atas (sebagai titik artikulasi). Misalnya [t] pada [pintu], [d] pada [dadi]  (jawa), dan [n] pada [minta]. Kemudian Bunyi apiko-alveolar. yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas. Caranya ujung lidah (sebagai artikulator) menyentuh kaki gii atas (sebagai titik artikulasi) Misalnya [t] pada (p ə n t U η ] (jawa), [d] pada [d u d U], dan [n] pada [nama]. Kemudian Bunyi lamino-palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan tengah lidah (lamina) dan langit-langit keras (palatum). Caranya lidah (sebagai artukulator) menyentuh langit-langit keras (sebagai titik artikulasi). Misalnya [c], [j], [ñ],[ŝ]. Kemudian Bunyi dorso-velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Caranya pangkal lidah (sebagai artikulator).

Pada tahap selanjutnya pengarang menjelaskan tentang cara gangguan, dilihat dari cara gangguan arus udara oleh artikulator ketika bunyi diucapkan bunyi dapat dikelompokkan menjadi bunyi stop, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup rapat sehingga udara terhenti seketika, lalu dilepaskan kembali secara tiba-tiba. Tahap pertama (penutupan) disebut implosif (atau stop implosif) tahap kedua pelepasan disebut eksplosif ( atau stop eksplosif). Misalnya [p’] pada [atap’] disebut bunyi stop impolsif, [p] pada [paku] disebut bunyi stop eksplosif. Contoh bunyi stop yang lain [b], [t], [d], [k], [g], [?].  Selanjutnya yaitu Bunyi kontinum (alir), yaitu kebalikan dari bunyi stop, yaitu bunyi yang dihasikan dengan cara arus udara  tidak ditutup secara total sehingga arus udara tetap mengalir. Berarti bunyi-buyi selain bunyi stop merupakan bunyi kontinum, yaitu bunyi afrikatif, frikatif, tril, dan lateral. Selanjutnya yaitu Bunyi afrikatif (paduan), yaitu bunyi yang dihasilkan denagn cara arus udara ditutup rapat, etapi kemudian dilepas sacara berangsur-rangsur. Misalnya [c], [j]. Selanjutnya yaitu Bunyi frikatif (geser), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara dihambat sedemikian rupa sehingga udara tetap dapat keluar, misalnya [f], [v], [s], [z], [ŝ], [x]. Selanjutnya yaitu Bunyi tril (getar), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup dan dibuka berulang-ulang secara cepat. Misalnya [r], [R]. Selanjutnya  yaitu Bunyi lateral (samping), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup sedemikian rupa sehingga udara masih bisa keluar melalui salah satu atau kedua sisinya. Misalnya, [l], [lima]. Adapun yang terakhir yaitu Bunyi nasal (hidung), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara yang lewat rongga mulut ditutup rapat, tetapi arus udara dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya [m], [n], [ñ], [η].

Kemudian pengarang juga menjelaskan tentang tinggi rendahnya lidah, dilihat dari tingi rendahnya lidah ketika bunyi itu diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu (a) bunyi tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras, misalnya bunyi [i] pada [kita], (b) bunyi agag tinggi yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, sehingga agag mendekati langit-langit keras. Misalnya [e] pada [lele], (c) bunyi tengah yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah ditengah misalnya [ə] pada [əmas], (d) bunyi agag rendah yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah agag merendah, sehingga agag menjauhi langit-langit keras. Misalnya [O] pada [jOrO?], (e) bunyi rendah yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah sehinga menjauh dari langit-langit keras. Misalnya [a] pada [bata].

Pengarang juga menjelaskan tentang maju mundurnya lidah dilihat dari maju mundurnya lidah ketika bunyi diucapkan bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (a) bunyi depan, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian lidah depan di naikkan. Misalnya [i], [e], [a], (b) bunyi pusat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata tidak ada bagian lidah yang dinaikkan. Misalnya [ə], (c) bunyi belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Misalnya [u], [U], [o], [O].

Adapun yang terakhir pengarang menjelaskan tentang bentuk bibir, dilihat dari bentuk bibir ketika bunyi diucapkan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu (a) bunyi bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat. Misalnya [u], [U], [o], [O]. (b) bunyi tidak bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya [i], [a].

 

 

4.2 Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia

Pada tahapan ini penulis menjelaskan bahwa bunyi segmental baik vokoid maupun kontoid yang diucapkan oleh penutur bahasa Indonesia sangat variatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai distribusi dan lingkungan. Didalam sub bab ini juga pengarang mensertakan tabel yang berisi tentang jumlah dan variasi bunyi kontoid dan bunyi vokoid.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab V Klasifikasi Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster, Silaba

5.1  Bunyi Suprasegmental

Pada tahapan ini pengarang menjelaskan bahwa bunyi-bunyi suprasegmental oleh para fonitisi dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu yang pertama bunyi-rendah (nada,tona, pitch) yaitu ketika bunyi segmental diucapakan selalu melibatkan nada, baik nada tinggi, sedang, atau rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Variasi-varisai nadapun bisa dipakai untuk menyatakan perbedaan makna pada tataran kata dan perbedaan maksud pada tataran kalimat. Pada tataran kata, variasi-variasi pembeda makna tersebut tona, yang ditandai dengan angka arab [1] untuk nada rendah setingkat nada do, [2] untuk nada biasa setingkat re,[3] untuk nada setingkat nada mi, [4] untuk nada paling tinggi setingkat nada fa.

Selanjutnya yaitu  keras-lemah (tekanan, aksen, stress) yaitu bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi otot ketika bunyi diucapkan. Variasi tekanan ini bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu, tekanan keras yang ditandai dengan [‘], tekanan sedang yang ditandai dengan [], tekanan lemah yang ditandai dengan [‘]. Dan tidak ada tekanan, yang ditandai dengan tidak adanya tanda diakritik.

 

 

Selanjutnya pengarang menjelaskan tentang panjang-pendek (durasi, duration)  yaitu bunyi-bunyi segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu diucapkan. Bunyi panjang untuk vokoid diberi tanda satuan mora, yaitu satuan waktu pengucapan, dengan tanda titik. Tanda titik satu [.] menandakan satu mora, tanda titik dua [:] menandakan dua mora, dan tanda titik tiga [:.] menandakan tiga mora, sementara itu, bunyi-bunyi untuk kontoid diberi tanda rangkap, dengan istilah geminat.

Kemudian yang ke empat atau yang terakhir pengarang menjelaskan tentang kesenyapan (jeda, juncture). Yang dimaksud penghentian yaitu pemutusan suatu arus bunyi-bunyi segmental keika diujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan terjadi kesenyapan diantara bunyi-bunyi yang terputus itu. Kesenyapan ini bisa berada diposisi awal, tengah, dan akhiran ujaran. Kesenyapan wal terjadi ketika bunyi itu akan diujarkan, misalnya ketika akan mengujarkan kalimat ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sebelumnya. Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan kata-kata dalam kalimat, misalnya antara ucapan ini dan buku pada ini buku; atau ucapan pada antarsuku kata, misalnya antara suka kata i dan ni pada kata ini, walaupun kesenyapan itu sangat singkat. Kesenyapan akhir terjadi pada akhir ujaran, misalnya ujaran akhir kalimat ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sesudahnya.

 

5.2 Bunyi Pengiring

Ditahap ini pengarang menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan bunyi pengiring. Bunyi pengiring adalalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan. Oleh karena itu, ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan. Yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang tindah yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau sempurna. Bunyi-bunyi sertaan dibagi menjadi beberapa kelompok yang pertama yaitu bunyi efektif, bunyi klik, bunyi aspirasi, bunyi eksplosif (bunyi lepas), bunyi retrofleksi, bunyi labialisasi, bunyi palatalisasi, bunyi glotalisasi, bunyi natalisasi.

Selain bunyi pengiring sebagai gejala koartikulasi atau artikulasi sertaan, ada juga gejala pengucapan bunyi dengan usaha seminimal mungkin, yang disebut silimitud. Misalnya [r] pada [ rambUt’] dan [r] pada [riwayat]. Hal ini dipengaruhi oleh vokoid yang mengikutinya.

 

5.2 Diftong dan Kluster

Pada tahapan ini pengarang menjelaskan tentang bunyi-bunyi segmental, baik vokoid maupun kontoid ada yang diucapkan secara rangkap. Perangkapan bunyi ini ditandai dengan satuan hembusan udara ketika bunyi itu diucapkan. Perangkapan bunyi vokoid disebut diftong, sedangakn perangkapan bunyi kontoid disebut kluster, untuk bunyi vokoid, perangkapan hanya maksimal dua buah, sedangkan untuk bunyi kontoid perangkapannya antara dua dan tiga buah, walaupun yang terbanyak adalah dua buah.

 

5.3 Silaba (suku kata)

          pengarang menjelaskan bahwa silaba atau suku kata sudah lama dikenal, terutama dalam kaitannya dengan sistem penulisan. Sebelum alfabet lahir, sistem penulisan didasarkan atas suku kata ini yang disebut tulisan silabari. Walaupun suku kata ini sudah didasari oleh penutur tetapi dalam prakteknya sering terjadi kesimpangsiuran, terutama ketika dihadapkan pada penulisan. Hal ini karena adanya perbedaan orientasi tentang suku kata ini.

Untuk memahami tentang suku kata ini, para linguis atau fonitisi berdasarkan pada dua teori yang pertama yaitu teori sonoritas yaitu teori yang menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) diantara bunyi yang diucapkan. Puncak kenyaringan ini ditandai dengan denyutan dada yang menyebabkan paru-paru mendorong kedalam.

Yang kedua yaitu teori prominans yaitu teori yang menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri-ciri supranatural, terutama jeda (juncture). Ketika rangkaian bunyi itu diucapkan, selain terdengan satuan kenyaringan bunyi, juga terasa adanya jeda diantaranya, yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah kenyaringan.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab VI Fonemik: Fonem, Dasar, Prosedur Analisis

6.1 Definisi Fonem dan Jenisnya

Pada sub bab ini pengarang menjelaskan bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan bunyi terkecil tersebu berfungsi sebagai pembeda makna ? satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah melakukan pembuktian secara empiris, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa yang diteliti. Dengan demikian, kalau kita ingin mengetahui  fungsi bunyi bahasa indonesia, misalnya kita harus membandingkan bentuk-bentuk bahasa indonesia.

 

6.2 Dasar-dasar Analisis Fonem

Dasar-dasar analisis fonem adalah pokok-pokok pikiran yang dipakai sebagai pegangan untuk menganalisis fonem-fonem suatu bahasa. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut: (1) Bunyi-bunyi suatu bahasa cenderung dipengaruhi oleh lingkungannya. (2) Sistem Bunyi suatu bahasa berkecenderungan bersifat simetris. (3) Bunyi-bunyi suatu bahasa cenderung berfluktasi. (4) Bunyi-bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis digolongkan tidak berkontras apabila berdistribusi komplementer dan/atau bervariasi bebas. (5) Bunyi-bunyi yang mempunyai kesamaan fonetis digolongkan ke dalam fonem yang berbeda apabila berkontras dalam lingkungan  yang sama atau mirip.

 

6.3 Prosedur Analisis Fonem

Pertama, mencatat korpus data setepat mungkin dalam transkripsi fonetis. Kedua, mencatat bunyi yang ada dalam korpus data ke dalam peta bunyi. Ketiga, memasangkan bunyi-bunyi yang dicurigai karena mempunyai kesamaan fonetis. Keempat, mencatat bunyi-bunyi selebihnya karena tidak mempunyai kesamaan fonetis. Kelima, memcatat bunyi-bunyi yang berdistribusi komplementer. Keenam, mencatat bunyi-bunyi ynag bervariasi bebas. Ketujuh, mencatat bunyi-bunyi yang berkontras dalam lingkungan  yang sama (identis). Kedelapan, mencatat bunyi-bunyi yang berkontras dalm lingkungan yang mirip (analogis). Kesembilan, mencatat bunyi-bunyi yang berubah karena lingkungan. Kesepuluh, mencatat bunyi-bunyi dalam inventori fonetis dam fonemis, condong menyebar secara simetris. Kesebelas, mencatat bunyi-bunyi yang berfluktuasi. Keduabelas, mencatat bunyi-bunyi selebihnya sebagai fonem tersendiri. Setelah penjelasan dari sub bab 6 ini, penulis juga mecantumkan beberapa soal untuk bahan pendalaman bagi mahasiswa. Ini dilakukan agar lebih menguasai materi sub bab.

 

  1. Laporan Bagian Buku Bab VII : Klasifikasi, Distribusi, Realisasi Fonem Bahasa Indonesia

7.1 Klasifikasi Fonem Bahasa Indonesia

Pengklasifikasian fonem bahasa Indonesia didasarkan pada pola pengklasifikasian bunyi yang biasa dilakukan oleh fonetisi. Dengan demikian, pengklasifikasian bisa memanfaatkan peta bunyi vokoid dan kontoid, namun disini disebut vokal dan konsonan. Berdasrkan hasil penelitian, fonem bahsa Indonesia berjumlah sekitar 6 fonem vocal dan 22 fonem konsonan.

 

7.2 Distribusi Fonem Bahasa Indonesia

Dalam pemakaiannya fonem bahasa Indonesia menyebar ke posisi onset silaba, nuklus silaba, dan koda silaba. Posisi onset dan koda diduduki fonem konsonan, sedangkan posisi nuklus diduduki fonem vocal. Namun dalam praktiknya direlisasikan dalam berbagai variasi bunyi sebagai alofonnya. Berkait dengan distribusi fonem ini, Parera (1983: 38-40) tidaka hanya berfokus pada lingkungan silaba atau suku kata, tetapi juga pada lingkungan tutur kata, morfem, dan unsur suprasegmental. Kemungkinan distribusi fonem yaitu: (1) Distrbusi fonem vocal, (2) Distribusi fonem konsonan, (3) Distribusi fonem Diftong, dan (4) Distribusi fonem Kluster.

 

 7.3 Realisasi Fonem Bahasa Indonesia

Analisis atas realisasi atau alofon fonem bahasa Indonesia juga memperhatikan korpus data dari unsur-unsur serapan yang dipakai oleh penutur bahasa Indonesia. Distribusi setiap alofon, yang ditulis dalam kolom keterangan, sebagian besar didasarkan pada lingkungan silaba atau suku kata.

 

7.4 Fonem dan Grafem Bahasa Indonesia

Pada bahasan ini, penulis memberikan pengertian fonem dan grafem berdasarkan perbedaan, yaitu: pada fonem merujuk pada satuan bunyi terkecil yang membedakan makna. Sedangkan grafem merujuk pada sistem pelambangan bunyi (fonem) yang berbentuk huruf. Grafem atau sistem pelambangan bunyi alih-alih disebut sistem ejaan – ini ada dua macam, yaitu: grafem yang mengikuti sistem fonetis (ejaan fonetis), dan grafem yang mengikuti sistem fonemis (ejaan fonemis). Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD diresmikan tahun 1972) masih dijumpai minimal dua masalah terkait dengan pelambangan fonem, yaitu: (1) satu fonem dilambangkan dua huruf, (2) dua fonem dilambangkan satu huruf.

Kemudian penulis juga menambahkan artikel yang berkaitan dengan ejaan, apa itu EYD? Dan didownload dari internet (22 September 2006). Penulis berharap setelah membaca artikel ini terbentuk adanya diskusi lebih lanjut dengan teman ynga mempunyai atensi terhadapa masalah ejaan ini. Penulis juga memberikan bahan pendalaman bab 7, agar setiap mahasiswa dapat lebih mengerti dan lebih memahami lagi materi yang yang telah diberikan.

 

  1. Laporan Bagian Buku bab VIII : Ciri-Ciri Prosodi atau Supragegmental Dalam Bahasa Indonesia

Pada bagian bab ini, penulis membahas bagaimana “peran” dan “Kiprah” bunyi-bunyi suprasegmental dalam tuturan bahasa Indonesia, yaitu (1) Nada, nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis. Ketidakfonemisan ini tidak berarti nada tidak ada dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. (2) Tekanan, berfungsi membedakan makna  dalam tataran kalimat (sintaksis), tetapi tidak berfungsi membedakan makna dalam tataran kata (leksis). (3) Durasi, durasi atau panjang-pendek ucapan dalam bahasa Indonesia tidak fungsional dalam tataran kata, tetapi fungsional dalam tataran kalimat. (4) Jeda, terjadi di antara dua bentuk linguistic, baik antarkalimat, antarfrase, antarkata, antarmorfem, antarsilaba, maupun antarfonem. (5) Intonasi, sangat berperan dalam pembedaan maksud kalimat.

Pada sub 8 ini, penulis juga memberikan bahan pendalaman, yakni berupa 5 pertanyaan salah satunya pertanyaan mengenai mengapa nada dalam bahasa Indonesia dikatakan tidak fungsional? Serta memberikan contoh konkret dalam pemakaian bahasa Indonesia! Hal ini dilakukan demi meningkatkan kemampuan mahasiswa.

 

  1. Lapoaran Bagian Buku Bab IX : Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia

Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis. Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.

 

8.1 Asimilasi

Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Contoh: (1) Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif. Penulis juga menyertakan contohnya sebagai berikut :

 

  • Kata bahasa Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak’] dengan [k] velar tidak bersuara, dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara. Ketika kedua kata itu digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu tangan’, diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar bersuara karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang mengikutinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa [k] pada [zak’] disesuaikan atau diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga sama-sama bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi regresif.
  • Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.

 

Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /t/. Asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena perubahan dari [k’] ke [g’] dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]), serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada suan hon > [su-atton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon dari fo-nem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga, bunyi [h] merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/.

Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang yang sama.

Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis ‘saya makan ikan’, kata vis – yang biasa diucapkan [vis] – pada kalimat tersebut diucapkan [fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi oleh kata eet [i:t’] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar tidak bersuara. Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup dua fonem yang berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari fonem /v/, dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/.

 

8.2 Disimilasi

Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Penulis menyertakan conoh sebagai berikut :

 

  • Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
  • Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana [sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi [j] yang pertama diubah menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana]. Ka-rena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka perubahan itu disebut disimilasi fonemis.
  • Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan bentuk dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr] mengalami perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka perubahan itu juga disebut disimilasi fonemis.

 

  • Modifikasi Vokal

Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan. Penulis menyertakan contoh sebagai berikut :

 

  • Kata balik diucapkan [balī?], vokal i diucapkan [ī] rendah. Tetapi ketika mendapatkan sufiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [ī] berubah menjadi [i] tinggi: [balikan]. Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya. Pada kata balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah [?], sedangkan pada kata balikan, bunyi yang mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [ī] ke [I] masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga karena perbedaan struktur silaba. Pada bunyi [ī], ia sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i], ia sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li pada ba-li-kan).
  • Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu.

 

Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke vokal yang lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi oleh para linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara itu, perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini biasa disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal.

Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang disebut ablaut (Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan vokal jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur morfologis. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing [sīŋ] ‘menyanyi’ menjadi sang [sєŋ], sung [sαŋ]. Perubahan vokal jenis ini juga bisa disebut modifikasi internal.

 

8.4 Netralisasi

Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal – setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.

Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama? Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusinya).

 

8.5 Zeroisasi

Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya. Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.

Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’ dengan struktur lengkapnya. Misalnya:

shall not     disingkat   shan’t

will not disingkat won’t

– is not disingkat isn’t

are not disingkat aren’t

it is atau it has disingkat it’s.

 

Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop. (1) Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa . (2) Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi, mpulaut menjadi pulau. (3) Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya: baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpatti menjadi upeti.

 

8.6 Metatesis

Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya:kerikil menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari bahasa Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arab arbab.

 

8.7 Diftongisasi

Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenya-ringan sehingga tetap dalam satu silaba.

Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain:

  1. teladan [təladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [ə] menjadi [au]
    topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au]

 

8.9 Monoftongisasi

Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:

kalau [kalau] menjadi [kalo]

danau [danau] menjadi [dano]

satai [satai] menjadi [sate]

damai [damai] menjadi [dame]

 

8.10 Anaptiksis

 Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya:

putra menjadi putera

putri menjadi puteri

bahtra menjadi bahtera

srigala menjadi serigala

sloka menjadi seloka

Akibat penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba. Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silaba baru dengan puncak silaba pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri] menjadi [tə+ri], [sri] menjadi [sə+ri], dan [slo] menjadi [sə+lo].

Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis, dan paragog. (1) Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya:

mpu menjadi empu

mas menjadi emas

tik menjadi ketik

Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya:

kapak menjadi kampak

sajak menjadi sanjak

upama menjadi umpama

Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya:

adi menjadi adik

hulubala menjadi hulubalang

ina menjadi inang

 

3.Komentar

Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) ini dari segi penyajiannya sangat baik karna penulis Masnur Muslich sang pengarang dalam penyajiannya tentang ilmu Fonologi dibuku ini disertai contoh jadi para pembaca yang ingin tahu lebih dalam tentang ilmu Fonologi dapat membaca dan memahami dan mempelajari ilmu Fonologi dengan mudah karna penulis telah menjabarkan serta menjelaskan tentang ilmu Fonologi. Seperti halnya bagian-bagian dari ilmu Fonologi disini penulis telah mengatur secara sistematis dalam penyajiannya seperti mulai dari pengantar, konsep dan definisi (pengertian) sampai dengan penjelasan materi yang disampaikan didalam buku ini sangat jelas dan mudah dimengerti oleh pembaca sehingga pembaca dapat memahami ilmu tentang ilmu Fonologi secara terperinci dan sekaligus dapat langsung melihat contoh-contoh dari masing-masing materi yang dijelaskan sehingga pembacapun dapat membedakan dan mengetahui langsung elemen-elemen terpenting dalam ilmu Fonologi. Seperti halnya sebelum penulis menjelaskan mengenai ilmu Fonologi penulis juga telah memberikan pengarahan kepada pembaca dan sebelum penulis menjelaskan apa-apa saja yang terdapat didalam ilmu Fonologi penulis terlebih dahulu memberi penjelasan tentang ilmu Fonologi ? setelah pembaca mengetahui apa itu ilmu Fonologi barulah penulis memberi tahukan bagian-bagian dari ilmu Fonologi seperti Fonetik; gambaran umum dan fonetik Tahapan. Jadi buku ini sangatlah memberikan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam tentang ilmu Fonologi  jadi pembaca tidak akan rugi jika membaca Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karna buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca agar dapat mengetahui lebih dalam lagi tentang ilmu Fonologi.

Didalam segi isi penulis juga menyusun secara sistematis cara penyajiannya dimana penulis menberikan penjelasan barulah kemudian penulis memberitahukan tentang bagian-bagian dari materi tersebut. Contohnya, seperti Fonetik:gambaran umum dan Fonetik tahapan. Dalam penjelasannya penulis menjelaskan secara terperinci dan secara dalam. Materi tentang Fonetik, pertama kali penulis mengenalkan apa itu Fonetik sebelum penulis menjelaskan lebih jauh lagi materi tentang Fonetik. Kemudian barulah penulis menjelaskan tentang unsur-unsur atau bagian-bagian dari Fonetik, dan barulah kemudian penulis memberikan penjelasan tentang bagian-bagian dari Fonetik. Tujuannya adalah agar pembaca tidak bingung dan bosan dalam membaca atau memahami buku tersebut. Kemudian penulis juga melengkapi buku ini dengan menyediakan tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswanya agar seorang pengajar dapat memahami kemampuan mahasiswanya.  Saya sebagai pembaca menilai buku ini sangat bagus dibaca oleh pembaca khususnya mahasiswa saperti saya ini dimana saya dapat memperdalam ilmu Fonologi saya dengan saya membaca buku karangan Masnur Muslich ini, tetapi saya juga melihat bahwa cover Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) ini kurang menarik, sehingga jika dilihat dari covernya pembaca kurang minat dan kurang tertarik untuk membaca buku ini.

 

Buku Pembanding I

Pembaca juga membaca buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto sebagai bahan perbandingan. Dan diterbitkan oleh UNP Press. Cetakan pertama tahun 2007. Tempat penerbitan buku ini di Padang dan diterbitkan oleh UNP Press. Ketebalan buku ini xxi+148 halaman. Dilihat dari segi penyajiannya buku ini sama dengan buku-buku pada umumnya. Dimana terdapat kata pendahuluan, daftar isi, bab dan subab materi yang akan dijelaskan oleh penulis, kemudian daftar pustaka/rujukan. Dalam buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto ini jika dibandingkan dengan buku karya Masnur Muslich, maka buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto ini juga cukup lengkap. Dimana didalam buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto. Didalam buku ini penulis memberikan penjelasan dimana bab I penulis menjelaskan Objek dan Ruang Lingkup Fonologi, dan kemudian di bab II penulis menjelaskan tentang Mekanisme Pembentukan Bunyi Bahasa, kemudian di bab III barulah penulis menjelaskan tentang Transkripsi Fonetis dan Fonemis, kemudin pada bab IV penulis menjelaskan tentang Klasifikasi Fonem, kemudian pada bab V penulis menjelaskan tentang Fon, Fonem dan Alofon, kemudian pada bab VI penulis menjelaskan tentang Pengujian Fonem, kemudian pada bab VII penulis menjelaskan tetang Fonotaktik Bahasa Indonesia. Kemudian pada bab VIII penulis menjelaskan tentang Morfofonemik Bahasa Indonesia, tetapi dalam penjelasnnya buku “Fonologi Bahasa Indonesia” Yang di karang oleh Amril dan Ermanto ini kurang la lengkap karena dalam penjelasnnya penulis tidak memberikan contoh maupun kegiatan atau tugas untuk mahasiswanya. Maka dari itu pengajar haruslah faham dan mengrti benar jika ingin memberikan tugas kepada mahasiswanya. Penulis bukannya tidak memberikan contoh dalam menjelaskan setiap materi tetapi penulis juga tidak memberikan pengetahuan atau penjelasan yang lebih terperinci dan setiap materinya. Contohnya saja dalam materi Mekanisme Pembentukan Bunyi Bahasa penulis tidak memberikan contoh sebagai tambahan pemahaman mahasiswa da penulis juga idak memberikan soal ataupun pertanyaan sebagai tolak ukur pemahaman mahasiswa atau sebagai uji kompetensi. Tetapi buku ini juga sangat bagus dibaca oleh mahasiswa seperti saya agar dapat memahami dan mengetahui ilmu Fonologi agar lebih luas lagi.

 

Buku Pembanding II

Pembaca juga membaca buku tentang Linguistik Umum yang didalamnya ada pembahasan tentang Fonologi, buku Linguistik Umum ini dikarang oleh Abdul Chaer. Penerbit buku ini adalah Rineka Cipta yang merupakan Anggota IKAPI. Cetakan pertama pada tahun 2012. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang  All Right Reserved. Tempat penerbitan buku ini di padang dan diterbitkan oleh Rineka Cipta. Tebal buku ini 386 halaman. Dari cara penyajiannya buku ini sama saja dengan buku-buku yang lain dimana terdapat kata pengantar penulis, daftar isi, bab dan subab materi yang akan dijelaskan, kemudian daftar pustaka/rujukan. Didalam buku “Linguistik Umum” karya Abdul Chaer ini, jika saya (pembaca) bandingkan dengan buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich. Maka buku  “Linguistik Umum” karya Abdul Chaer ini masih jauh dan kurang lengkap materi maupun pembahasannya. Buku Linguitik Umum ini hanya membahas Fonologi secara umum saja semua materi yang diberikan kurang terperinci dalam bidang ilmu Fonologi. Walaupun dalam buku ini materi maupun penjelasannya kurang lengkap tetapi dalam buku ini pengarang menyertakan tugas dan pertanyaan sebagai uji kompetensi dalam pemahaman materi mahasiswa setelah membaca buku ini. Tetapi buku ini juga sangat bagus dibaca oleh mahasiswa seperti saya agar dapat memahami dan mengetahui ilmu Fonologi agar lebih luas lagi.

Buku Pembanding III

Pembaca juga membaca buku tentang  Asas-Asas Linguistik Umum yang didalamnya ada pembahasan tentang Fonologi, buku Asasa-Asas Linguistik Umum ini dikarang oleh J.W.M Verhaar. Penerbit buku ini adalah Gadjah Mada Uniersity Press yang merupakan Anggota IKAPI. Cetakan pertama pada tahun 1996, cetakan kedua pada tahun 1999, cetakan ketiga pada tahun2001, cetakan keempat pada tahun 2004, cetakan kelima pada tahun 2006, cetakan keenam pada tahun 2008. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang  All Right Reserved. Tempat penerbitan buku ini di Yogyakarta dan diterbitkan oleh Gadjah Mada Uniersity Press. Tebal buku ini 412 halaman. Dari cara penyajiannya buku ini sama saja dengan buku-buku yang lain dimana terdapat kata pengantar penulis, daftar isi, bab dan subab materi yang akan dijelaskan, kemudian daftar pustaka/rujukan. Didalam buku “Asas-Asas Linguistik Umum” karya J.W.M Verhaar ini, jika saya (pembaca) bandingkan dengan buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich. Maka buku “Asas-Asas Linguistik Umum” karya J.W.M Verhaar ini masih jauh dan kurang lengkap materi maupun pembahasannya. Buku Asas-Asas Linguitik Umum ini hanya membahas Fonologi secara umum saja semua materi yang diberikan kurang terperinci dalam bidang ilmu Fonologi. Walaupun dalam buku ini materi maupun penjelasannya kurang lengkap tetapi dalam buku ini pengarang menyertakan tugas dan pertanyaan sebagai uji kompetensi dalam pemahaman materi mahasiswa setelah membaca buku ini. Tetapi buku ini juga sangat bagus dibaca oleh mahasiswa seperti saya agar dapat memahami dan mengetahui ilmu Fonologi agar lebih luas lagi. Dalam pembahasannya buku ini juga tidak membosankan pembaca seperti saya ini. Cover buku ini juga menarik perhatian pembaca agar lebih ingin tahu lagi tentang apa saja isi materi yang ada di dalam buku ini.

 

 

 

Dari keempat buku diatas “Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich. Serta buku “Fonologi Bahasa Indonesia” karya Amril dan Ermanto dan “Linguistik Umum” karya Abdul Chaer dan yang terakhir buku “Asas-Asas Linguistik Umum” karya J.W.M. Verhaar ini sangat baik dibaca dan bermanfaat untuk lebih mendalami ilmu Fonologi apa lagi mahasiswa pada jurusan Bahasa Indonesia seperti saya, maka akan banyak sekali manfaat yang akan diperoleh.

 

 

Penutup

“Buku Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia) karya Masnur Muslich ini sangat bagus dibaca oleh kalangan pengajar dan peserta didik seperti kalangan guru, dosen dan mahasiswa FKIP (fakultas keguruan dan ilmu pendidikan) dari progam studi mana saja. Yang lebih khusus yaitu mahasiswa atau dosen/guru Bahasa Indonesia. Banyak manfaat dan ilmu yang didapat dengan membaca buku ini kemudian pengajar juga dapat lebih mendalami dan mempraktekkan dengan baik kepada mahasiswanya dalam proses belajar mengajar. Begitu pula manfaat dan ilmu pengetahuan yang akan didapat bagi mahasiswa, tentu saja mahasiswa akan lebih banyak mengetahui  apa itu tentang ilmu Fonologi dan tentang kajian-kajian materinya seperti Fonetik, Fonem dan alat-alat ucap yang berkerja disaat bunyi itu dihasilkan. Dengan membaca buku ini maka kita dapat mengetahui. Dan mahasiswa dapat mamperdalam ilmu Fonologinya. Buku ini juga bermanfaat bagi khalayak umum. Buku ini sangat bagus dibaca oleh setiap kalangan. Apalagi jika seseorang telah mempunyai dasar ilmu Fonologi. Banyak ilmu yang didapat dan ditimba dari buku ini. Dan buku ini sangat bagus karena isi didalamnya sangat bermanfaat bagi pembaca dalam proses pembelajaran dan lebih mendalami ilmu Fonologinya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Muslich Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Amril dan Ermanto. 2007. Fonologi Bahasa Indonesia. Padang. UNP Press.

Chaer Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.

J.W.M Verhaar. 2008. Asas-Asaa Linguistik Umum. Yogyakarta. Gadjah Mada Unniversity Press.

 

 

 

.